Selasa, November 7

Tentangmu adalah Tabula Rasa

Tentangmu adalah tabula rasa.
Keinginan..
Harapan..
Kekecewaan..
Kesakitan...
Tentangmu adalah lautan kenangan..


Tentangmu adalah keraguan, 
Ketakutan,
Egoku dan Kenyataan.
Tentangmu ternyata kasih sayang.


Bukan kembali  yang kumaksudkan
Bukan melihatmu  yang kuinginkan
Tentangmu adalah semua pertentangan. 

Setelahmu, beribu hari kujalani, tanpa pernah berharap lagi
Tentangmu adalah Cinta.
Maka kubiarkan. 


Jumat, Oktober 7

Novel Sandra Brown Exclusive (Berita Ekslusif)

Novel Terjemahan Sandra Brown


BAB I 

"Anda kelihatan cerah, Mrs. Merrit."
"Aku kelihatan kacau"
Vanessa Merrit sebetulnya memang tampak kacau dan Barrie jadi malu karena ketahuan menyampaikan pujian kosong. Ia berusaha memperbaiki kesalahannya dengan tenang.
"Setelah apa yang Anda alami, Anda berhak tampak sedikit kusut. Wanita lain, termasuk saya khususnya saya, akan puas jika bisa tampil seperti Anda biarpun Anda sedang sangat kacau.
"Terima kasih." 
Ia mengaduk cappucino-nya tanpa semangat, kalau saraf bisa berbunyi, saraf Vanessa Merrit pasti sudah berdenting-denting seperti sendoknya ketika Ia dengan gemetar meletakkannya kembali.
"Ya Tuhan. Demi sebatang rokok, aku rela semua kuku jariku dicabut dengan tang." Ia jelas tidak pernah tampak merokok di depan umum, jadi Barrie terkejut mendengar. Ia ternyata perokok. Meskipun sikapnya yang gelisah memang ciri pecandu nikotin. Tangannya tak pernah diam. Ia mengotak-atik kalung mutiaranya, bermain-main dengan giwang berlian indah di telinganya, dan berulang kali membetulkan letak kacamata RayBan yang nyaris menutupi lingkaran hitam dan bengkak di sekeliling matanya.
Matanya yamg cemerlang sangat menunjang kecantikannya. Sampai saat ini. Hari ini, mata indah berwarna biru muda itu menunjukkan rasa sakit dan kecewa. Hai ini sepasang mata itu tampak seperti mata bidadari yamg baru saja melihat neraka untuk pertama kalinya.
Saya tidak punya tang,” ujar Barrie. " Tapi saya punya ini." dari tas kulit besarnya, Ia mengeluarkan sebungkus rokok yang belum dibuka dan menyodorkannya ke seberang meja. Mrs. Merrit jelas tampak tergoda. Matanya yang kalut dengan gelisah mengamati teras luar restoran. Cuma ada beberapa pria di meja lain dan seorang pelayan yang lewat tak jauh dari mereka Meski begitu, ditolaknya rokok itu. “Sebaiknya aku tidak merokok. Tapi kalau kau mau. silakan.”
“Saya tidak merokok. Saya membawanya untuk jaga-jaga seandainya saya harus membuat orang yang saya wawancarai merasa rileks.”
“Sebelum kau mencecarnya.”
Barrie tertawa. “Saya cuma bisa berharap saya seganas itu.”
“Sebetulnya kau lebih bagus menggarap kisah-kisah
kemanusiaan.” Merupakan kejutan yang menyenangkan bagi Barrie, mendengar Mrs. Merrit tahu tentang karya-karyanya.
“Terima kasih.”
“Beberapa laporanmu cukup luar biasa. Seperti tentang pasien-pasien AIDS itu dan laporan yang kaubuat tentang wanita tunawisma tanpa suami yang beranak empat itu.”
“Kisah itu dinominasikan untuk penghargaam industri.” Barrie merasa tak ada alasan untuk memberitahu bahwa ia sendirilah yang mengikutsertakan kisah itu.
“Aku menangis menontonnya,” kata Mrs. Merrit.
“Saya juga.”
“Terus terang, kau begitu hebat, aku jadi sering bertanya-tanya kenapa kau tidak bergabung saja dengan sebuah jaringan pemberitaan.”
“Saya punya beberapa aib.”
Alis Vanessa Merrit yang rapi berkerut. “Bukankah ada isu mengenai Justice Green yang...”
“Ya, itu,” potong Barrie. la tak ingin semua kegagalannya dibeberkan satu demi satu dalam
perbincangan ini.
“Kenapa Anda menghubungi saya, Mrs. Merrit? Saya senang, tapi penasaran.”
Senyum Vanessa Merrit perlahan-lahan memudar. Dengan suara rendah dan serius ia berkata, “Sudah kukatakan, bukan? Ini bahan wawancara.”
“Saya mengerti.”
Sebetulnya tidak. Barrie Travis sama sekali tidak tahu mengapa Mrs. Merrit mendadak menelepon dan mengundangnya minum kopi. Selama beberapa tahun ini mereka memang saling kenal, tapi tidak akrab. Bahkan pilihan tempat pertemuan hari ini pun mencurigakan. Restoran ini salah satu dari beberapa tempat serupa di sepanjang pantai selatan yang
menghubungkan Sungai Potomac dengan Tidal Basin. Malam hari, seluruh kelab dan tempat makan di sepanjang Water Street ini selalu penuh pengunjung, yang sebagian besar adalah turis. Kadang-kadang memang ada yang makan siang di sini. tapi di siang bolong pada hari kerja begini, restoran-restoran ini kosong melompong. Mungkin tempat ini dipilih memang karena sepinya.
Barrie memasukkan sepotong gula ke cangkir cappuccino-nya, kemudian dengan malas-malasan mengaduknya sambil memandang ke luar pagar besi teras. Mrs. Merrit mengaduk cappuccino-nya dan akhirnya menyesapnya. 
“Sudah dingin.”
“Anda mau pesan lagi?” tanya Barrie. “Biar saya panggil pelayannya.”
“Tidak, terima kasih. Sebetulnya aku tidak ingin minum kopi. Kopi cuma, kau tahu...” la mengangkat bahunya yang dulu langsing menarik tapi sekarang kurus melengkung.
“Cuma alasan?” tebak Barrie.
Vanessa Merrit mengangkat kepala. Di balik kacamata hitam itu, Barrie melihat kejujuran muram tersorot dari mata wanita itu.
“Aku harus bicara dengan seseorang.”
“Dan Anda teringat pada saya?”
“Well, ya.”
“Karena beberapa kisah saya membua Anda menangis’?”
“Itu. Dan karena kartu simpati yang kaukirim. Aku tersentuh. Sangat tersentuh.”
“Saya senang kartu itu bisa menghibur Anda”
“Aku..aku tidak punya banyak teman akrab. Kau dan aku kira-kira seumur. Kupikir kau bisa jadi pendengar yang baik.” la menunduk. Seuntai rambut kocekelatan tergerai ke depan, menutupi sebagian tulang pipinya yang klasik dan dagunya yang aristokrat.
Dengan suara pelan Barrie berkata, “Kartu saya tidak mampu mengutarakan betapa sedihnya saya atas apa yang terjadi.”
“Sesungguhnya mampu. Terima kasih,” Vanessa Merrit mengambil tisu dari tas dan menyelipkannya di bawah kacamata hitam untuk mengusap matanya. “Entah dari mana air mata ini.” katanya tentang air mata yang membasahi tisunya itu. “Mestinya aku sudah kekeringan sekarang.”
“Itukah yang ingin Anda bicarakan?” tanya Barrie lembut ‘’Bayi itu?”
“Robert Rushton Merrit,” kata Mrs. Merritt sengit. “Kenapa sih semua orang tidak mau menyebut namanya? Demi Tuhan, dia punya nama selama tiga bulan. Dia ada dan punya nama”
“Saya rasa.. “
la tidak memberi Barrie waktu untuk bicara. “Rushton nama gadis ibuku.” Mrs. Merritt menjelaskan. “Dia pasti suka kalau cucu pertamanya diberi nama keluarganya," 
Sambil memandangi air selat yang bergolak, Mrs. Merritt melanjutkan bicaranya dengan suara melamun. " Dan aku selalu suka nama Rohen. Itu nama yang lugas, tanpa tahi kucing”
Kevulgaran ucapannya mengejutkan Banie. Omongan seperti itu sangat jauh dari citra wantia Selatan terhormat. Vanessa Merritt Seumur hidup, belum pernah Barrie merasa begitu kehabisan kata-kata. Dalam situasi seperti ini, apa yang pantas diucapkannya? Apa yang bisa dikatakannya pada wanita yang baru saja kehilangan bayinya? Pemakaman yang bagus?
Tiba tiba Mrs. Merritt bertanya, “Apa yang kau ketahui tentang masalah itu?” 
Barrie tergagap. Apakah ia sedang ditantang? Apa yang kau ketahui tentang kehilangan anak? Apa yang betul-betul kau ketahui tentang apa pun?
“Apakah maksud Anda...? Yang Anda maksud kematian bayi... maksud saya, kematian Robert?”
“Ya. Apa yang kauketahui?”
“Tidak ada yang benar-benar tahu soal SIDS (Sudden infant Death Syndrome—sindrom kematian bayi secara mendadak), bukan?” tanya Barrie, meraba-raba maksud di balik pertanyaan itu.
Rupanya Mrs. Merritt berubah pikiran tentang roko tadi. Dirobeknya bungkus rokok yang tergeletak di meja. Gerakannya seperti boneka tali, tersentak-sentak dan kaku. Jari-jari yang menempelkan rokok ke bibirnya bergetar. Barrie cepat-cepat mengambil pemantik api dari tas. Vanessa Merritt tidak berbicara lagi sampai setelah
mengisap rokoknya dalam-dalam beberapa kali. Tapi tembakau itu tidak menenangkannya, malah membuatnya makin resah.
“Robert sedang tidur, menyamping, disangga salah satu bantal kecil, seperti posisi yang diajarkan padaku. Kejadiannya begitu cepat! Bagaimana bisa...” Suaranya lenyap.
“Apakah Anda menyalahkan diri Anda? Dengar.” Barrie mengulurkan tangan ke seberang meja, mengambil rokok dari tangan Mrs. Merritt, dan melumatkannya di asbak. Lalu ia menekan tangan dingin wanita itu di antara kedua tangannya. Gerakan untuk menunjukkan simpati itu dilihat oleh pria-pria di meja lain.
“Robert meninggal karena kematian di tempat tidur bayi. Ribuan ibu dan ayah setiap tahun kehilangan anak akibat SIDS, dan tak satu pun di antara mereka yang tidak meragukan kemampuan mereka merawat anak. Sudah sifat manusia untuk menimpakan kesalahan pada tragedi, jadi manusia menimpakan kesalahan pada diri mereka sendiri. Jangan jatuh ke dalam perangkap itu. Kalau Anda mulai berpikir Anda-lah yang bertanggung jawab atas
kematian bayi Anda, Anda mungkin tidak akan pernah bisa melupakannya.”
Mrs. Merritt menggeleng kuat-kuat. “Kau tidak mengerti. Semuanya memang salahku.” Dibalik kacamata hitam itu matanya memandang sekeliling dengan liar. Ia
menarik tangannya dari genggaman Barrie, menyentuh pipi, pindah ke permukaan meja, pangkuan, sendok, leher. Ia berusaha menenangkan diri. 
“Bulan-bulan terakhir kehamilanku tak tertahankan rasanya.” Selama beberapa saat ia menutupi mulutnya dengan tangan, seolah trimester terakhir itu amat sangat menyakitkan. “Lalu Robert lahir. Tapi keadaan bukannya membaik, seperti yang kuharapkan, malah semakin buruk. Aku tidak bisa...”
“Tidak bisa apa? Mengatasinya? Semua ibu yang baru melahirkan akan merasa galau,” Barrie menghiburnya. Mrs. Merritt memijat pelipisnya dengan ujung jari.
“Kau tidak mengerti,” ia mengulangi dengan suara berbisik yang tegang. “Tidak ada yang mengerti. Aku tidak bisa bicara dengan siapa pun. Dengan ayahku pun tidak. Oh, Tuhan, aku tidak tahu mesti bagaimana!” Kekacauan emosinya begitu nyata hingga para pria di
meja sebelah menoleh dan memandanginya. Pelayan mendekat, ekspresinya tampak khawatir. Barrie cepat-cepat berbicara dengan suara tertahan.
“Vanessa, kumohon, tenangkan dirimu. Orang-orang memperhatikan kita.”
Entah karena Barrie memanggilnya dengan nama depannya atau karena alasan lain, kekacauan emosi tadi segera berubah 180 derajat. Tangannya yang tadi terus bergerak, kini diam. Air matanya langsung kering. Ia menenggak habis Cappuccino dingin yang beberapa saat lalu tak ingin diminumnya, kemudian mengakhirinya dengan mengusap bibirnya yang pucat dengan serbet. Barrie mengamati transformasi itu dengan takjub. Pulih seutuhnya, dengan suara tenang dan datar, Ia berkata, “Percakapan ini sama sekali off the record,
bukan?”
““Tentu,” jawab Barrie. “Anda sudah mengatakannya waktu menelepon saya.”
“Mengingat posisimu, dan posisiku, aku sekarang menganggap mestinya pertemuan ini tidak dilangsungkan. Sejak Robert meninggal, aku jadi kacau. Kupikir aku harus membicarakannya, tapi temyata aku salah. Membicarakannya cuma membuatku makin tidak keruan.”
“Anda baru saja kehilangan bayi Anda. Anda pantas merasa galau.” Barrie menyentuh lengan wanita di hadapannya itu. “Jangan terlalu keras pada diri Anda. SIDS terjadi begitu saja.”
Ia membuka kacamata hitamnya dan menatap mata Barrie lurus-lurus. “Betul begitu?”
Lalu Vanessa Armbruster Merritt, sang Ibu Negara Amerika Serikat, mengenakan kembali RayBan-nya, menyandang tasnya, dan berdiri. Para agen Dinas Rahasia
di meja sebelah cepat-cepat bangun. Mereka diikuti tiga agen lain yang sejak tadi berdiri di sepanjang pagar besi, tidak kelihatan. Mereka mengelilingi Ibu Negara dan mengawalnya dari teras restoran ke limusin yang telah menunggu.


Bab II
BARRIE mengaduk-aduk tasnya, mencari koin untuk mesin minuman. “Ada yang punya beberapa koin 25 sen yang bisa kupinjam?”
“Untukmu tidak ada, Manis,” jawab seorang editor video yang kebetulan lewat. “Kau sudah berutang 75 sen padaku.”
“Besok kubayar. Sumpah.”
“Tidak usah ya, Cantik.”
“Pernah dengar soal pelecehan seksual di kantor?” seru Barrie pada laki-laki itu.
“Tentu. Aku mendukungnya,” balas laki-laki itu sambil menoleh.
Barrie berhenti mencari koin di dasar tasnya, memutuskan sekaleng minuman diet tidak cukup berarti untuk membuatnya bersusah payah begitu. Ia berjalan di antara kerumunan orang, melintasi ruang berita stasiun televisi, melewati labirin bilik sampai ia tiba di biliknya sendiri. Kalau melihat mejanya yang berantakan, pengidap obsesif-kompulsif pasti sudah
bunuh diri. Barrie melemparkan tasnya ke meja, hingga tiga majalah terjatuh ke lantai.
“Kau pernah membaca majalah-majalah itu?” Suara yang tak asing itu membuat Barrie mengerang. Howie Fripp adalah editor penugasan departemen berita, atasan langsungnya, dan orang yang amat sangat menyebalkan.
“Tentu saja aku membacanya,” dusta Barrie. “Dari awal sampai akhir.”
la berlangganan beberapa majalah. Majalah-majalah itu datang secara teratur, menumpuk tinggi di mejanya sampai ia terpaksa membuangnya, lebih sering belum
dibaca. Dengan setia ia membaca horoskop bulanan di Cosmopolitan. Kira-kira itulah waktu yang dihabiskannya untuk majalah-majalah itu, tapi ia berprinsip takkan
berhenti berlangganan. Semua jurnalis TV yang baik merupakan pecandu berita, mereka membaca semua yang bisa dibaca. Dan dia adalah jurnalis TV yang baik. Betul.
“Tidakkah hati nuranimu terusik kalau tahu bahwa ribuan pohon menyerahkan nyawa mereka hanya supaya kau bisa tetap punya bahan bacaan yang tidak kaubaca?”
“Howie, kau-lah yang mengusikku. Lagi pula, berani-beraninya kau berkhotbah soal kesadaran lingkungan,padahal asap rokokmu yang empat bungkus sehari itu mengotori atmosfer.”
“Belum lagi kentutku", la membenci seringai kecil jahat laki-laki itu hampir seperti ia membenci otak-otak kerdil yang mengatur WVUE, stasiun TV independen di bawah standar yang beranggaran kecil, yang setengah mati bertahan hidup diantara raksasa-raksasa berita di Washington, D.C. Ia harus mengemis supaya memperoleh dana untuk memproduksi feature story seperti yang dipuji Ibu Negara tadi. Dan ia punya ide untuk banyak feature story lain. Tapi manajemen stasiun ini, termasuk Howie, berbeda pendapat. Ide-idenya dihalangi oleh para pria yang tak punya visi, bakat, dan energi. Tempatnya memang bukan di sini. Bukankah itu juga keyakinan para penghuni penjara?
“Terima kasih, Howie,  karena tidak menyebut-nyebut soal kentutmu.”
la mengempaskan diri ke kursi dan menyisir rambut dengan jari-jarinya, lalu menariknya ke belakang. Penata rambutnya memang tidak hebat, tapi angin lembap di teras restoran tadi membuatnya berantakan. Pilihan tempat pertemuan yang aneh. Lebih aneh lagi pertemuan itu sendiri. Apa tujuannya?
Dalam perjalanan pulang ke stasiun TV, Barrie menelaah setiap patah kata yang terucap sepanjang pertemuannya dengan Ibu Negara. Ia menganalisis semua infleksi dalam suara Vanessa Merritt, menimbang setiap gerakan tangan, menebak bahasa tubuhnya, memikirkan pertanyaan final meresahkan yang merupakan kata-kata perpisahan untuknya itu, tapi ia tetap tak bisa mengatakan dengan pasti apa yang terjadi. Atau apa yang tidak terjadi.
“Sudah periksa e-mail-mu?” tanya Howie, membuyarkan pikirannya.
“Belum.”
“Harimau yang. kabur dari karnaval keliling itu? Mereka sudah menemukannya. Ternyata dia tidak kabur. Jadi, tak ada berita.”
“Oh tidaaak!” kata Barrie dramatis. “Padahal aku sangat ingin meliputnya.”
“Hei, itu bisa jadi berita besar. Kucing besar itu bisa saja memakan anak kecil.” Howie tampak benar-benar kecewa peristiwa itu tidak terjadi.
“Itu liputan kelas teri, Howie. Kau selalu memberiku liputan kelas teri. Apa karena kau tidak suka padaku, ataukarena aku wanita?”
“Aduh, jangan ngomong soal feminis itu lagi deh. Kau mau dapat haid, ya?”
Barrie menghela napas. “Howie, kau payah.”

Payah. Itu dia. Vanessa Merritt tadi kelihatan payah. Tidak sabar menghadapi ocehan laki-laki itu, Barrie berkata, “Dengar, Howie, kalau tidak ada alasan spesifik kau datang kemari, aku masih banyak pekerjaan, seperti yang bisa kaulihat.” Howie mundur ke partisi yang memisahkan kotaknya— begitulah pendapatnya tentang bilik kerjanya yang penuh sesak—dari bilik sebelah. Tanpa memedulikan musim, Howie mengenakan kemeja putih lengan pendek. Selalu. Selalu dengan celana panjang hitam yang mengilap. Dasinya dijepit. Hari ini dasi pilihannya sangat norak dan ada noda di ujungnya yang sudah berjumbai, yang panjangnya cuma sampai di bagian tengah perutnya yang buncit, sangat tidak proporsional dengan bokongnya yang tepos dan kakinya yang melengkung kurus.

Sambil menyilangkan tangan dan kaki, ia berkata, "tidak ada salahnya kalau kau punya berita, Barrie. Kau tahu, berita. Kau digaji untuk mencari berita, setidak-tidaknya satu setiap hari. Bagaimana kalau kaucari untuk warta berita malam ini?”
“Aku sedang menggarap sesuatu yang ternyata tidak menarik,” gumam Barrie seraya menghidupkan komputer.
“Tentang apa?”
“Karena tidak menarik, buat apa dibahas?” 

Vanessa Merritt bilang bulan-bulan menjelang kelahiran anaknya rasanya tak tertahankan. Biarpun tidak mengatakannya secara tegas dan jelas, dari sikapnya saja dapat terlihat bahwa ia mengalami masa-masa sulit. Sesudah kelahiran si bayi, “tak tertahankan” berkembang jadi semakin buruk. Tapi apa yang begitu tak tertahankan? Dan mengapa memberitahu aku? Howie terus berceloteh, tidak sadar bahwa Barrie cuma setengah mendengarkan. 

“Aku tidak minta liputan langsung tentang orang yang menembak kepalanya
sendiri, atau langkah-langkah pertama manusia di Mars, atau kelompok ekstrem menyandera Paus di Vatikan. Berita kecil yang menyenangkan sudah cukup. Pokoknya berita tentang apa saja. Untuk mengisi enam puluh detik antara siaran iklan kedua dan ketiga. Cuma itu yang kuminta.”
“Kau ini dangkal sekali, Howie,” komentar Barrie. “Kalau itu tadi pidato pendorong semangat paling bagus yang bisa kausampaikan, pantas saja kau mendapatkan hasil yang begitu tidak memuaskan dari para bawahanmu.”
Howie meluruskan tangan dan kaki, lalu menegakkan tubuh hingga tingginya yang 165 senti, berkat ganjalan di sepatu, jadi kelihatan. “Kau tahu apa masalahmu? Di matamu tampak ambisi. Kau ingin jadi Diane Sawyer. Well, kuberitahu kau, ya... kau bukan dia. Dan takkan pernah jadi dia. Kau takkan pernah menikah dengan sutradara film terkenal atau memiliki news magazine show—acara berita yang membahas masalah- masalah aktual secara mendalam—sendiri. Kau takkan pernah memiliki respek dan kredibilitas dalam bisnis ini. Karena kau pecundang dan semua orang di industri ini tahu. Jadi berhentilah menunggu berita besarmu dan terima saja apa yang bisa ditangani oleh diri dan bakatmu yang terbatas. Berita yang bisa kuudarakan. Oke?”
Barrie mengabaikannya persis setelah pernyataan “di matamu tampak ambisi”. Ia pertama kali mendengar pidato itu pada hari Howie mempekerjakannya, karena kebaikan hatinya, begitu kata laki-laki itu. Lagi pula, pria itu menambahkan, pihak manajemen mendesaknya untukmenambah “cewek” lagi, dan Barrie “lumayan manis”. Sejak saat itu hampir setiap hari ia mendengar pidato yang sama. Selama tiga tahun. 
Ada beberapa pesan di e-mail-nya, tapi semua bisa ditunda. Ia mematikan komputer dan berdiri. “Sekarang sudah terlalu malam untuk melakukan apa pun, Howie. Tapi akan kuberi kau berita besok. Janji.” Ia menyambar tas dan menyandangkannya di bahu.
“Hei! Mau ke mana kau?” Howie berteriak pada Barrie yang bergegas melewatinya.
“Ke perpustakaan.”
“Untuk apa?”
“Riset, Howie.”
Ketika melewati mesin minuman dingin, Barrie meninjunya. Sekaleng Diet Coke menggelinding keluar. Ia menganggapnya sebagai pertanda baik. 

Sambil dengan susah payah menjaga agar tas, setumpuk buku perpustakaan, dan kunci-kunci yang dibawanya tidak berjatuhan, Barrie membuka kunci pintu belakang townhouse-nya dan bergegas masuk. Begitu melalui ambang pintu, ia disambut ciuman basah dan penuh semangat.
“Terima kasih, Cronkite.” Barrie mengusap wajahnya yang lengket. “Aku cinta padamu juga.” Cronkite dan saudara-saudarapya tadinya akan “ditidurkan” di tempat penampungan anjing pada hari Barrie memutuskan ia membutuhkan teman berkaki empat, setelah teman berkaki duanya menyatakan ingin berpisah dan meninggalkannya selamanya. Ia sulit memutuskan anak anjing mana yang akan diselamatkannya, tapi ia tidak pernah menyesali pilihannya. Cronkite bertubuh besar dan berbulu panjang, jelas memiliki darah golden retriever. Matanya yang cokelat besar memandangnya tanpa berkedip sekarang, sementara
ekornya memukul-mukul betisnya dengan gembira.
“Selesaikan urusanmu,” ia memberitahu anjing itu, mengangguk ke arah halaman belakang. “Pakai pintu anjingmu.” Cronkite mendengking. Barrie menghela napas. “Oke, kutunggu. Tapi cepat. Buku-buku ini berat.”
Dengan gembira Cronkite mengencingi semak-semak, lalu melesat ke dalam mendahului Barrie. Mari kita lihat apa ada surat asyik hari ini,” ia berkata ketika melangkah ke ruang depan tempat surat-suratnya menumpuk di bawah celah pintu depan.
“Tagihan, tagihan, tagihan lewat batas waktu. Undangan makan malam di Gedung Putih.” la memandang anjingnya, yang memiringkan kepala dan menatapnya dengan pandangan bertanya. “Cuma mengecek apakah kau mendengarkan atau tidak.” Cronkite membuntutinya naik ke karnar, tempat Barrie mengganti pakaian dan sepatu hak tingginya dengan jersey Redskins yang panjangnya hampir mencapai lutut dan kaus kaki olahraga. Sesudah menyisir rambut, ia mengikatnya jadi buntut kuda. Sambil memandangi bayangannya di cermin, ia bergumam, “Cantik,” kemudian melupakan soal penampilan dan memusatkan perhatian pada pekerjaan.


Setelah bertahun-tahun, ia sekarang memiliki banyak narasumber—para klerek, sekretaris, kekasih gelap,pelayan, polisi, orang di posisi kunci—yang kadang-kadang memberinya infomasi berharga dan petunjuk- petunjuk yang bisa dipercaya. Salah satu di antaranya
adalah seorang wanita bernama Anna Chen, yang bekerja di kantor administrasi General Hospital Washington. Gosip-gosip panas yang ditangkap Anna Chen dari seluruh penjuru rumah sakit sering menjadi berita-berita bagus. Ia termasuk narasumber Barrie yang paling dapat diandalkan. Berharap belum terlalu larut untuk meneleponnya di kantor, Barrie mencari nomorya di Rolodex dan menghubunginya. Operator rumah sakit langsung
menyambungkannya.
“Hai, Anna. Ini Barrie Travis. Untung kau masih ada.”
“Aku baru mau pergi. Ada apa?”
“Bagaimana peluangku memperoleh salinan laporan
autopsi bayi keluarga Merritt?”
“Kau bercanda?”
“Sekecil itu?”
“Nyaris mustahil, Barrie. Maaf.”
“Sudah kukira, tapi tidak ada ruginya mencoba.”
“Kenapa kau menginginkannya?”
la menyebutkan beberapa alasan palsu, yang tampaknya bisa memuaskan narasumbernya itu. “Bagaimanapun juga, terima kasih, Anna.”
Kecewa, Barrie menutup telepon. Laporan autopsi akan merupakan titik awal yang bagus, walau ia masih tidak jelas apa persisnya yang akan dimulainya.
“Kau ingin makan malam apa, Cronkite?” Barrie bertanya sambil melompat-lompat menuruni tangga ke dapur. Ia membuka lemari dan menyebutkan pilihan
menu. “Hidangan istimewa malam ini adalah Kibbles and Bits, Alpo ayam dan hati, atau Gravy Train.” 
Anjing itu mendengking kecewa. Kasihan, Barrie berkata, “Luigi’s?” Lidahnya yang panjang dan merah jambu langsungterjulur, dan ia mulai ribut mendengus-dengus.
Akal sehatnya menyuruhnya makan Lean Cuisine, tapi masa bodoh. Saat kau berada dirumah pada malam hari, mengenakan jersey dan kaus kaki olahraga, bercakap-cakap
dengan anjing kampung dan tidak akan melakukan apa-apa selama berjam-jam selain riset, apa salahnya menikmati beberapa ratus gram lemak?
Sewaktu ia berbicara di telepon untuk memesan dua pizza, Cronkite mulai mendengking-dengking minta keluar. Barrie menutup corong telepon. “Kalau memang mendesak, pakai pintu anjingmu.”
Dengan sebal Cronkite melirik celah tertutup di pintu belakang. Lubang itu cukup untuk dilewati Cronkite, tapi tidak cukup besar bagi manusia hingga Barrie tidak perlu takut didatangi tamu tak diundang. Sambil mengulang pesanan pizza, ia menudingkan telunjuknya ke pintu anjing. Dengan tampang terhina, Cronkite keluar melalui pintu itu. Barrie sudah selesai menelepon waktu Cronkite ingin masuk kembali, jadi ia membukakan pintu belakang untuknya. "Pizzanya dijamin diantarkan dalam 25 menit, kalau tidak, kita tidak perlu membayarnya.”

Sementara menunggu, ia menuang segelas merlot dan membawanya ke lantai tiga, yang telah diubahnya jadi ruang kerja. Ia telah menguras tabungannya untuk membeli townhouse yang terletak di distrik Dupont Circle yang gaya ini. Bangunan ini tua tapi menarik dan
berkarakter, juga dekat dari mana-mana. Tadinya ia menyewakan lantai paling atas, yang
merupakan apartemen tersendiri. Tapi ketika penyewanya pindah ke Eropa meskipun uang sewa selama enam bulannya masih ada, Barrie menggunakan uang ekstra itu untuk mengubah ketiga kamar berukuran kecil itu menjadi sebuah ruang kerja yang luas. Salah satu dinding ruangan itu kini digunakan khusus untuk menyimpan kaset video. Ada beberapa rak. Ia menyimpan semua laporannya sendiri, siaran berita yang membahas peristiwa-peristiwa bersejarah, dan semua news magazine show. Kaset-kaset itu disusun sesuai abjad subjeknya.  Ia langsung mengambil kaset yang diinginkannya, memasukkannya ke VCR, dan menontonnya seraya menyesap anggur pelan-pelan. Kematian dan pemakaman Roben Rushton Merritt didokumentasikan secara lengkap. Tragedi itu rasanya semakin tidak adil karena menimpa keluarga Merritt,yang pemikahannya dianggap merupakan lambang kesempurnaan. 

Presiden David Malcomb Merritt bagai tokoh panutan bagi pria muda Amerika yang bercita-cita menjadi presiden. Ia tampan, atletis, menarik, dan karismatis bagi pria dan juga wanita.
Vanessa Merritt adalah pasangan yang serasi bagi suaminya. Ia menawan. Kecantikan dan daya tarik Selatannya menutupi kekurangannya. Misalnya dalam segi intelektualitas. Dan kebijaksanaan. Ia tidak dianggap punya kelebihan di bidang kecerdasan, tapi tampaknya tidak ada yang peduli. Masyarakat menginginkan Ibu Negara yang menarik hati, dan Vanessa Armbruster Merritt dengan mudah memenuhi keinginan itu. Orangtua David sudah lama meninggal. Ia tidak memiliki keluarga yang masih hidup. Namun ayah Vanessa lebih dari cukup dalam menutupi kekurangan ini. Tak ada yang bisa mengingat sejak kapan Cletus Anmbruster menjadi senator senior dari Mississippi. Ia memegang jabatan itu lebih lama daripada entah berapa presiden. Bersama mereka membentuk tiga serangkai menarik
yang sama terkenalnya dengan keluarga kerajaan dari mana pun. Sejak pemerintahan Kennedy, tidak satu pun presiden Amerika, istrinya, dan kehidupan pribadi mereka, menarik begitu banyak perhatian dan kekaguman publik, di tingkat nasional dan dunia, seperti keluarga Merritt. Apa pun yang mereka lakukan, ke mana pun mereka pergi, sendirian atau bersama, selalu menjadi berita. Wajarlah Amerika bergembira ketika diumumkan bahwa Ibu Negara tengah mengandung anak pertama pasangan itu. Bayi itu akan membuat keluarga sempuma itu jadi semakin sempuma. Kelahiran sang bayi mendapatkan liputan pers lebih
besar daripada berita apa pun. Barrie ingat waktu itu Ia menonton, dari monitor ruang berita, berita kesekian kalinya tentang kedatangan bayi Merritt di Gedung Putih. Waktu itu Howie berkomentar dengan masam, “Perlukah kita mencari bintang di Timur?”
Satu-satunya peristiwa yang mendapat liputan sebesar itu adalah kematian bayi yang sama tiga bulan kemudian. Dunia terperangah, terkejut, dan sedih. Tak ada yang mau mempercayainya. Tak ada yang bisa mempercayainya. Amerika berduka.

Barrie menghabiskan minumannya, memutar ulang video itu untuk ketiga kalinya, dan menonton lagi gambar-gambar pemakaman yang memilukan. Vanessa Menitt tampak pucat dan sedih, namun cantik dengan setelan berkabungnya. Ia tak sanggup berdiri tanpa dibantu. Semua orang bisa melihat betapa hancur hatinya. Setelah bertahun-tahun menikah, baru sekarang Ia memperoleh anak, satu lagi aspek kehidupan pribadinya yang diselidiki dan dibeberkan secara sangat mendetail oleh pers. Kehilangan anak yang telah dengan susah payah diperolehnya, membuatnya jadi tokoh yang betul-betul tragis.
Presiden tampak tabah sementara air mata membasahi pipinya yang cekung dan mengalir ke sisi mulutnya. Orang-orang berkomentar tentang betapa penuh perhatiannya Ia pada istrinya. Hari itu, David Merritt lebih dipandang sebagai suami dan ayah yang kebetulan
juga menjadi kepala eksekutif. Senator Armbruster terang-terangan menangis. Kontribusinya untuk peti mati kecil cucunya adalah bendera mungil Negara Bagian Mississippi, yang mencuat di antara mawar putih dan baby’s breath.

Jika Barrie menjadi sang Ibu Negara, ia pasti ingin berduka tanpa dilihat orang-orang. Ia pasti membenci semua kamera dan komentator itu. Meskipun ia tahu para koleganya cuma melakukan tugas mereka—Barrie sendiri ikut meliput—pemakaman itu jadi tontonan publik, dikirim lewat satelit ke seluruh dunia. Bagaimana Vanessa Merritt sanggup tampil setenang itu? Bel pintu Barrie berbunyi. Ia melirik jam. “Sialan! Dua puluh empat menit, 39
detik. Kau tahu, Cronkite,” ia berkata ketika mereka menuruni tangga, “kurasa mereka sengaja berbuat begitu untuk membuat kita berharap.
Luigi sendiri yang mengantar. Ia orang Italia bertubuh  pendek gemuk dengan wajah kemerahan, bibir penuh, dan segumpal rambut hitam keriting—di dada. Kepalanya botak tanpa rambut sehelai pun.
“Miss Travis,” katanya, berdecak memandang pakaiannya. “Saya tadinya berharap piza tambahan malam ini untuk sang pacar.”
“Bukan. Yang pakai bakso untuk Cronkite. Kuharap kau tidak terlalu banyak memberi bawang putih. Perutnya jadi kembung. Berapa?”
“Saya masukkan ke tagihan Anda.”
‘’Terima kasih.” Diraihnya kedua kotak itu, yang aromanya membuat Cronkite melompat-lompat histeris di kakinya. Gerakan Cronkite, merlot tadi, dan perutnya yang kelaparan membuat Barrie pusing. Tapi Luigi tidak mau melepaskan pizzanya tanpa
ceramah yang merupakan tambahan gratis darinya.
“Anda bintang film...”
“Aku di bagian berita TV.”
“Sama saja,” bantah Luigi. “Saya bilang pada istri saya, Miss Travis pelanggan yang baik. Dua-tiga malam dalam seminggu dia menelepon kita. Baik bagi kita, tapi buruk baginya. Dia terlalu banyak sendirian.’ Dan istri saya bilang,  “Bahwa mungkin Miss Travis memang ingin sendirian.” Tidak. Katanya Anda tidak bertemu pria karena terlalu banyak bekerja.”
“Aku bertemu pria, Luigi. Tapi yang baik sudah ada yang punya semua. Laki-laki yang kujumpai, kalau tidak sudah menikah, homo, aneh, atau tak mungkin didapat. Tapi kuhargai perhatianmu.” Diraihnya pizza itu lagi. Kembali tak berhasil.
“Anda cantik, Miss Travis.”
“Aku tidak bisa membuat lalu lintas macet.”
“Rambut Anda bagus. Warna kemerahan yang indah. Kulit Anda juga bagus. Dan mata hijau Anda sangat tidak biasa.”
“Warna hazel yang sangat biasa.” Sama sekali tidak spektakuler, tidak seperti, yah, mata safir jernih Vanessa Merritt.
“Agak kecil di atas sini.” Mata Luigi bergerak ke payudaranya, Barrie tahu dari pengalaman, bahwa jika ia membiarkan, pria itu sekarang akan mulai mengevaluasi tubuhnya.
“Tapi tidak terlalu kecil,” ia cepat-cepat menghibur Barrie. “Secara keseluruhan, Anda langsing.”
“Dan makin langsing.” Barrie menyambar kotak-kotak pizza. “Terima kasih, Luigi. Tambahkan tip yang banyak untuk dirimu dalam tagihanku, dan kirim salam untuk istrimu.” Ia menutup pintu sebelum Luigi sempat berkomentar lagi tentang kehidupan asmaranya.

Cronkite sudah kalap, jadi Barrie langsung memberinya pizzanya lengkap dengan kotaknya. Lalu ia sendiri duduk di meja dapur, makan pizza sambil minum segelas anggur lagi, ditemani buku-buku perpustakaan yang dipinjamnya tadi siang. Pizza itu, seperti biasa, sangat lezat. Anggur keduanya habis lebih cepat daripada yang pertama. Riset tentang SIDS ternyata mengasyikkan dibanding pizza dan anggur, Ia lebih menikmati risetnya, ingin mencari tahu lebih banyak.

Bab III
Sambil mengerutkan kening dengan skeptis, Howie Fripp mengorek telinganya dengan kunci mobil. “Entah, ya.” Barrie menahan keinginannya untuk menyerbu ke seberang meja dan menerkam tenggorokan pria itu. Tak seorang pun bisa membangkitkan aspek gana kepribadiannya ini. Kecuali Howie. Bukan hanya kebiasaan pribadinya yang menjijikkan dan chauvinisme-nya yang menyebalkan yang membangunkan insting buas pada diri Barrie. Ketololan dan pandangannya yang sempitlah yang membuat Barrie benci setengah mati pada laki-laki itu.
“Apanya yang tidak kausukai?”
“Membuat depresi saja,” jawab Howie, seraya bergidik untuk menekankan perkataannya. “Bayi meninggal di tempat tidur. Siapa yang mau menonton serial tentang
masalah itu?”
“Para orangtua baru. Para calon orangtua. Para orangtua yang mengalaminya. Siapa saja yang ingin tahu dan memahaminya, yang kuharap termasuk paling tidak sebagian dari pemirsa kita.”
“Kau hidup di dunia mimpi, Barrie. Pemirsa kita menonton karena ada tayangan ulang Cheers setelah warta berita.”

Barrie berusaha menyembunyikan nada tidak sabar dalam suaranya. Kalau Howie tahu ia geram padanya. laki-laki itu akan makin bertingkah.
“Karena subjeknya, serial itu memang tidak akan menjadi tontonan yang menyenangkan. Tapi tidak berarti harus jadi cengeng juga. Aku sudah menghubungi pasangan yang kehilangan anak akibat SIDS dua tahun yang lalu. Mereka, sekarang sudah punya anak lagi, dan bersedia melakukan wawancara di depan kamera tentang bagaimana meneka mengatasinya.” Seraya berdiri, Barrie mencoba memenangkan perdebatan ini. 
“Temanya habis gelap terbitlah terang Kemenangan dalam mengatasi kesedihan. Bisa membangkitkan semangat.”
“Kau sudah menyiapkan orang-orang yang akan diwawancara?”
“Tergantung persetujuanmu, tentu saja,” Barrie berkata, menyenangkan hatinya. “Aku ingin semua sudah siap sebelum menemuimu, Howie . Aku melakukan riset mengenai masalah ini selama seminggu, berbicara dengan berbagai dokter anak dan psikolog. Ini topik yang tepat, terutama sejak kematian bayi Merritt.”
“Orang sudah muak mendengarnya.”
“Tapi aku membahasnya dari beberapa sudut yang unik.” 

Ini bukan sekadar untuk mempromosikam proyeknya. Makin dalam ia meriset SIDS, makin penasaran ia pada subjek-subjek sampingan yang sama menarik dan pantas diselidiki dengam subjek inti. Ketika mempelajarinya, ia jadi sadar bahwa laporan tunggal sepanjang sembilan puluh detik takkan cukup untuk membahasnya. Tapi Howie menghalanginya. “Entah, ya,” ulangnya. Kunci mobil tadi berputar-putar di telinganya yang satu lagi sementara ia membaca ulang proposal Barrie. Proposal itu mendetil namun singkat. Tentu orang yang berkapasitas mental terbatas seperti Howie pun mestinya mampu memahaminya. Barrie meminta tiga segmen, untuk mengudara selama dua malam berturut-turut dalam warta berita malam. Masing-masing segmen akan membahas elemen SIDS yang berbeda. Ia juga mengusulkan agar acara ini dipromosikan besar-besaran sebelum diudarakan. Pada akhirnya, tentu saja, ini tidak tercantum dalam proposal, akan ada produser berita di antara para pemirsa yang mengagumi karyanya dan menawarkan pekerjaan padanya sehingga ia bisa keluar dari koloni lepra jurnalisme TV ini, yang juga dikenal sebagai Departemen Berita WVUE.

Howie bersendawa. Di ujung kunci tadi tampak segumpal kotoran cokelat, yang disapukannya ke lembaran paling atas proposal Barrie. “Aku tidak yakin...”
“Aku telah mewawancarai Mrs. Merritt.”
Howie menjatuhkan kunci itu. “Apa?”
Barrie berbohong, tentu saja. Tapi kalau keadaan memaksa... “
"Baru-baru ini kami minum kopi bersama.”
“Kau dan Ibu Negara?”
“Betul. Dia yang mengundang. Dalam perbincangan kami, aku bercerita tengah menggarap sebuah serial. Dia mendukung ideku dan setuju untuk mengungkapkan pendapatnya.”
“Di depan kamera?”
Di kepala Barrie mendadak muncul bayangan Vanessa Merritt yang berusaha bersembunyi di balik RayBan, dengan tangan gemetaran memegang rokok yang sebetulnya tidak boleh diisapnya, gambaran Ibu Negara sebagai wanita yang emosinya kacau.
“Tentu saja di depan kamera,” Barrie berkata, matanya membelalak.
“Kau tidak bilang apa-apa soal Ibu Negara dalam proposalmu.”
“Aku menyimpannya untuk kejutan.”
"Oke, aku terkejut,” kata Howie datar.
Barrie tak pernah pandai berbohong, tapi Howie pun bukan orang yang pandai menilai karakter orang, Jad menurut Barrie Ia aman.

Pria itu mendoyongkan tubuh di mejanya. “Jika Mrs. Merritt setuju untuk diwawancara...”
“Pasti.”
“Kau tetap harus membuat satu liputan setiap hari.”
Setelah berkata begitu, ia bersandar dan menggaruk selangkangannya. Barrie mempertimbangkan syarat itu, kemudian menggeleng tegas. “Aku harus memberi perhatian penuh pada masalah ini, Howie. Aku ingin menggunakan seluruh waktuku untuk liputan ini.”
“Dan aku ingin tidur dengan Sharon Stone. Tapi kita tidak selalu memperoleh keinginan kita, bukan?”
Barrie berpikir lagi. “Oke. Syarat disetujui.”

*****

“Barrie Travis.”
“Siapa?”
Ibu Negara berdehem sebelum mengulangi nama itu.
“Barrie Travis. Dia reporter untuk WVUE.”
“Oh, yeah. Yang suaranya agak serak?” David Merritt, Presiden Amerika Serikat, memasang manset bergambar lambang kepresidenan. “Aku menyilakan dia bertanya dalam konferensi pers baru-baru ini. Laporan-laporannya tentang Gedung Putih biasanya bagus, bukan?”
“Sangat bagus.”
“Kenapa dia?”
Vanessa, sudah berpakaian rapi dan duduk di sofa, meneguk anggur putihnya seteguk. “Dia membuat serial tentang SIDS dan ingin mewawancara aku.” Merritt mengenakan tuksedo dan memandang bayangannya di cermin. Ketika memasuki Gedung Putih, ia memutuskan untuk tidak memiliki pelayan pribadi. Penjahit paling berpengalaman sekalipun tidak bisa
menampilkan kelebihan fisiknya lebih baik daripada dirinya sendiri. Potongan jasnya menonjolkan bahunya yang lebar dan pinggangnya yang ramping. Rambutnya selalu dipangkas rapi tapi tidak pernah diberi minyak rambut. Diam-diam ia sebetulnya lebih suka rambutnya tampak seperti habis ditiup angin. Ia mengenakan pakaian resmi dengan elegan dan anggun. Kalau mengenakan blue jeans, ia tampak seperti orang kebanyakan. Menyukai apa yang tampak di cermin, ia menoleh pada istrinya. “Dan?”
“Dan dia akan hadir pada resepsi malam ini. Dalton  berjanji akan memberikan jawaban padanya.”
Dalton Neely adalah sekretaris pers Gedung Putih. Ia dipilih dan dididik dengan baik oleh Merritt dan penasihat andalannya, Spencer Martin.
“Sebetulnya, permintaan resminya diajukan melalui kantor Dalton.” Vanessa mengeluarkan sebutir Valium yang diresepkan dokter dari botol obat di dalam tas tangan manik-maniknya. “Barrie Travis selama beberapa hari terakhir ini menelepon kantorku terus. Aku tidak pernah menerima teleponnya, tapi dia pantang menyerah.”
“Reporter mencari uang dengan bersikap pantang menyerah.”
“Well, sikapnya itu membuatku repot. Dalton tadi siang memberitahu aku soal permintaannya. Mereka berdua menginginkan jawabanku malam ini.” Dengan cepat Presiden menghampiri istrinya dan mencengkeram tangannya. Diambilnya tablet kuning
kecil dari tetapak tangan Vanessa. Lalu dikeluarkannya botol obat dari tas tangan istrinya dan dimasukkannya pil tadi ke dalamnya. Setelah itu ia mengantongi botol itu.
“Aku membutuhkannya, David.”
“Tidak. Ini juga sudah cukup.” Diambilnya gelas anggur dan disisihkannya. “Anggur menetralkan obatmu.”
“Aku baru minum dua gelas.”
“Tiga. Kau membohongiku, Vanessa.”
“Oke, aku lupa. Bukan masalah. Aku...”
“Bukan soal anggur itu. Soal reporter ini. Bukan dia yang merepotkanmu, kau sendirilah yang melakukannya. Dia mulai menelepon kantormu sejak kau bertemu dengannya beberapa minggu yang lalu. Begitu kan kejadiannya?” la diberitahu tentang pertemuan mereka hari itu juga, jadi ia tidak terkejut dengan permintaan wawancara Barrie Travis. Yang mengganggu pikirannya adalah, tanpa seizinnya, Vanessa telah memulai pembicaraan dengan orang pers. Vanessa dan seorang reporter, khususnya yang memiliki reputasi buruk, meropakan kombinasi berbahaya.
Kau memata-matai aku?” sembur Vanessa.
“Kenapa kau menemui dia. Vanessa?”
“Aku butuh teman bicara. Apakah itu merupakan kejahatan?”
“Kau memilih teman bicara seorang reporter?” David tertawa sinis.
“Dia mengirimi aku kartu yang menyentuh. Kupikir dia pasti menyenangkan diajak bicara.”
“Lain kali cari pendeta saja.”
“Kau melebih-lebihkan, David.”
“Kalau memang tidak penting, kenapa kau tidak memberitahu aku?”
“Pertemuan itu tidak penting sampai dia meminta wawancara di depan kamera ini. Sebelumnya, pembicaraan kami tidak perlu diceritakan. Dia berjanji apa pun yang kukatakan siang itu off the record. Ako butuh seseorang— wanita—untuk kuajak bicara.”
“Tentang apa?”
“Kaukira apa?” sergah Vanessa.
Ia melompat bangun dari sofa, menyambar gelas anggur, dan dengan gaya menantang menghabiskannya. David bersusah payah menahan amarahnya. “Kau kehilangan kontrol, Vanessa.”
“Betul sekali. Jadi akan lebih baik kalau kau pergi tanpa aku malam ini.”
Resepsi malam itu, yang diadakan untuk menghormati  delegasi muhibah dari negara-negara Skandinavia, adalah penampilan resmi pertamanya sejak kematian tragis Robert Rushton. Pesta kecil dan formal itu hanya cocok untuk pemunculan kembali Vanessa ke depan publik. Ia menghilang sesudah kematian bayinya. Tiga bulan waktu yang cukup lama. Masyarakat yang memilih suaminya, butuh melihatnya kembali beraksi.
“Tentu saja kau ikut” ujar Presiden. “Kau akan jadi primadona pesta. Selalu begitu.”
“Tapi...”
“Tidak ada tapi-tapi. Aku muak mencari alasan untukmu. Kita barus mengatasi ini, Vanessa. Sudah dua belas minggu.”
“Memangnya ada batas waktu untuk berduka?”
Presiden mengabaikan nada sengit dalam suaranya.
“Malam ini kau harus tampil sempurna. Jadilah dirimu sendiri yang menawan, selalu tersenyum, maka semua akan beres.”
“Aku benci orang-orang itu, mereka memandangiku dengan tatapan kasihan dan prihatin, dan tidak tahu harus bilang apa. Dan ketika ada yang bicara, omongannya begitu hambar, aku jadi ingin berteriak rasanya.”
“Bilang saja terima kasih untuk ucapan belasungkawa mereka, titik.”
“Ya Tuhan!” jerit Vanessa, suaranya bergetar. “Bagaimana kau bisa tanpa perasaan begitu...”
“Karena aku harus melakukannya, brengsek. Dan kau juga.”
Suaminya memandangnya begitu tajam hingga Vanessa terduduk kembali di sofa. Lalu ia mendongak terpana menatap David. David membuang muka, dan ketika ia berbicara lagi,
kemarahannya tak terdengar. 
“Aku suka gaun malammu. Baru, ya?” Bahu Vanessa melorot. Ia menunduk. David mengamatinya di cermin, dan mengenali gerakan refleks itu sebagai tanda menyerah. “Berat badanku turun,” gumam Vanessa.
“Baju-bajuku kebesaran semua.”
Terdengar ketukan di pintu. Presiden melintasi ruangan dan membukanya. “Hei, Spence. Mereka sudah siap?”
Spencer Martin memandang ke balik bahu David dan  mengamati kamar. Melihat Vanessa, dan gelas anggur kosong di meja, ia balik bertanya “Anda sudah siap?”
Presiden sengaja tidak mengacuhkan komentar penasihatnya.
“Vanessa agak demam panggung, tapi, seperti yang kau tahu, dia selalu berhasil mengatasinya.”
“Mungkin kita terlalu mendesaknya. Jika dia merasa belum siap...”
“Omong kosong. Dia sudah siap.” Ia menoleh pada istrinya dan mengulurkan tangan. “Siap, Sayang?”
Vanessa berdiri dan pelan-pelan mendatangi mereka, tanpa memandang mereka.
Salah satu sifat David adalah mengabaikan hal-hal yang tidak ingin diakuinya misalnya perasaan tidak suka di antara istri dan penasihat andalannya. “Dia kelihatan cantik malam ini, bukan, Spence?”
“Betul, Mr. President.”
“Terima kasih,” jawab Vanessa kaku. Ketika mereka melangkah ke koridor, ia menggandeng suaminya dan bertanya “Apa yang harus dikatakan Dalton pada Barrie Travis?”
“Barrie Travis si reporter?” sela Spence. “Mengatakan apa pada dia?” Ia memandang Presiden dengan tatapan bertanya.
“Dia minta izin Dalton untuk mewawancara Vanessa”
“Tentang apa?”
“SIDS,” jawab Presiden.

****                    


Semangat Barrie meluap-luap. Kata-katanya mengalur deras seperti air bah. “Aku melewati barisan penerima tamu bersama pasanganku. Jangan girang dulu. Dia homo yang masih merahasiakan kondisinya. Kami saling menolong, kurang lebih begitulah. Dia mendapat undangan ke resepsi itu dan membutuhkan pasangan wanita, dan aku mendapat kesempatan untuk berbicara langsung dengan Presiden dan Ibu Negara.
“Begitulah, aku meluncur sepanjang barisan penerima tamu, bersikap seanggun mungkin, dan ketika sampai di dekat Presiden, dia menggenggam tanganku dengan kedua tangannya, demi Tuhan aku tidak bohong, dan berkata, ‘Miss Travis, terima kasih banyak Anda bersedia datang. Kami selalu senang menerima Anda di Gedung Putih. Anda tampak luar biasa malam ini.’
“Sebetulnya, aku tidak ingat kata-kata persisnya, tapi cukup jika kukatakan aku tidak diperlakukan-seperti orang asing, atau sekadar kenalan, atau bahkan reporter biasa. Barbara Walters saja tak mungkin disambut lebih hangat daripada aku:’
Cronkite menguap dan mencari posisi yang lebih nyaman di tengah-tengah tempat tidur Barrie.
“Aku membuatmu bosan, ya?” tanya Barrie, berhenti untuk menarik napas. “Kelihatannya kau tidak menyadari betapa pentingnya kesempatan yang kudapat untuk
melakukan wawancara eksklusif pertama dengan Ibu Negara sejak kematian anaknya.
“Sesungguhnya Presiden yang menyinggung masalah itu lebih dulu. Dia bilang Mrs. Merritt telah memberitahunya soal serial SIDS-ku. Dia berpendapat itu ide bagus dan mengatakan dia mendorong Ibu Negara untuk berpartisipasi. Dia memujiku karena telah membangkitkan
kesadaran masyarakat tentang fenomena menyedihkan ini. Kemudian dia berkata dia dan Mrs. Merritt akan membantuku sepenuhnya. Aku... Yah, begini saja, seandainya itu seks, aku seperti mengalami orgasme berkali-kali.”
la naik ke samping Cronkite, yang menempati hampir dua pertiga tempat tidurnya dan tak mau bergeser seincipun. Sambil menjaga keseimbangan di pinggir kasur, ia menambahkan, “Aku cuma berharap Howie tadi ada di sana supaya bisa melihatnya.”


BAB IV 


Ia tahu pesawat TV menyala, namun ia hanya samar-samar mendengarkan sampai akhirnya terdengar suara yang familier itu. Ia langsung mengangkat kepala dari wastafel kamar mandi, tempat ia mencuci muka dengan air dingin. Setelan menyambar handuk kecil, ia berbelok dan rnasuk ke kamar.
“... yang, malangnya, Anda dan Presiden Merritt alami bersama ribuan pasangan lain.”
la tidak mengenali reporter itu. Wanita itu berusia tiga puluhan, mungkin lebin tua. Rambut pirang sebahu. Mata besar dan bibir penuh yang menjanjikan kenikmatan,
meskipun mata dan bibir itu tidak tersenyum saat ini.
Suara yang jelas dan serak, tidak biasa untuk jurnalis TV. Namanya tertulis di dasar layar TV. Barrie Travis. Nama itu tidak berarti apa-apa.
“Presiden dan saya terkejut ketika mengetahui jumlah
keluarga yang mengalami tragedi ini,” Vanessa Merritt berkata. “Lima ribu per tahun di negara kita saja”

Gray Bondurant mengenal dan mengetahui wajah dan suara yang ini dengan baik, meskipun ia langsung tahu sikap Vanessa selama wawancara itu bukan sikap aslinya,
melainkan hasil latihan. Ia meletakkan tangannya di pangkuan dengan anggun, tidak boleh ada gerakan. Ekspresi wajah dengan hati-hati dijaga. Pewawancara memutar rekaman suara Dr. George Allan, dokter pribadi keluarga Merritt, yang mendapat tugas tidak menyenangkan untuk mengumumkan kematian Robert Rushton Merritt di kamar tidur bayi Gedung Putih. Dr. Allan menjelaskan bahwa ilmu kedokteran masih berusaha mengetahui penyebab dan tindakan pencegahan SIDS. Lalu wawancara berkembang jadi lebih pribadi. “Mrs. Merritt, kami semua menyaksikan kesedihan Anda dan Presiden Merritt waktu pemakaman putra Anda.” Tampak adegan-adegan saat pemakaman. “Peristiwa itu terjadi
tiga bulan yang lalu. Luka hati Anda pasti belum sembuh, tapi saya tahu para pemirsa kami ingin mendengar kesaksian Anda.”
Vanessa diam sejenak. “Ayah saya pernah bilang, ‘Kemalangan adalah peluang hebat yang tersembunyi' Seperti biasa, Daddy benar,” katanya sambil tersenyum sekilas. “David dan saya merasa bahwa kami jadi semakin kuat, sebagai pasangan dan individu, sebab kami telah diuji sampai batas ketahanan kami, dan kami berhasil
mengatasinya.” 
“Omong kosong.” la menggulung handuk kecil yang dipegangnya dan melemparkannya ke seberang kamar, lalu mengambil remote control, tidak mau mendengar lagi. Tapi ia mengurungkan niatnya. Vanessa tengah berkata, “Presiden dan saya berharap orang-orang yang saat ini mengalami tragedi yang sama dapat memperoleh semangat dan penghiburan dari orang orang yang pernah mengalami dan berhasil mengatasinya seperti kami ini. Hidup harus terus berlanjut.”

Sambil mengumpat, Bondurant menekan tombol OFF.Respons itu ditulis, ditandatangani, disegel, dan diserahkan pada Vanessa untuk diingat dan diulangi. Kata-kata buatan Dalton Neely. Mungkin malah buah pikiran ayahnya Clete Armbruster. Barangkali bahkan
sang Presiden, dengan persetujuan akhir dari Spencer Martin. Biarpun sudah dilatih dan diperbaiki sebelum wawancara, kata-kata itu bukanlah kata-kata Vanessa. Ia memang mengucapkannya. tapi tidak secara spontan dan bukan berasal dari sanubarinya. Bondurant ragu reporter bersuara seksi itu sadar ia telah ditipu. Vanessa sudah diprogram dengan baik hingga seperti robot yang dilengkapi chip komputer di kepala. Rasanya tidak pantas kalau ia mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya. Yang jelas, tidak baik dari segi politik.
Merasa dinding-dinding kamar seperti mengurungnya, Bondurant pergi ke dapur untuk mengambil bir, lalu berjalan ke teras depan. Ia mengempaskan diri ke kursi goyang dan meminum birnya. Otot-otot lehernya yang kecokelatan terbakar matahari bergerak-gerak ketika ia menghabiskan setengah isi kaleng dalam satu tegukan panjang.

Ia tampak seperti bintang iklan bir. Gambar dirinya bertelanjang dada minum bir di-lokasi pedusunan seperti ini pasti bisa menjual jutaan kaleng bir merek apa pun, tapi ia tidak menyadarinya, atau memedulikannya. Ia tahu ia membuat orang terkesan, tapi tak pernah mau repot- repot menganalisis sebabnya. la tidak acuh pada masalah penampilan, terutama setahun terakhir ini, ketika ia tidak menemui satu manusia pun selama berminggu-minggu.
Kalau ia pergi ke Jackson Hole, ia mungkin akan bercukur. Mungkin juga tidak.Seperti inilah dirinya. Terima atau tinggalkan. Sejak dulu begitulah sikapnya, dan tanpa suara Ia menyampaikannya pada semua orang yang ditemuinya yang merupakan salah satu penyebab ia kurang cocok dengan lingkungan Washington. Ia senang bisa keluar
dari sana. Orang-orang kepercayaan Presiden harus bisa berkompromi, tapi Gray Bondurant tak kenal kompromi. Dengan mata birunya yang sekeras dan sedingin es, ia
menatap puncak-puncak tajam dan bersalju Pegunungan Teton. Sebetulnya dari jarak bermil-mil, pegunungan itu tampak cukup dekat umtuk bisa disentuh. Keagungan pegunungan ungu. Di halaman depan rumahnya. Bayangkan!

Diremasnya kaleng bir yang sudah kosong itu seakan benda itu bungkus permen karet. Ia berharap bisa mengulang kembali sepuluh menit terakhir tadi. Kenapa Ia tadi tidak berada di luar lebih lama sebelum masuk untuk mencuci muka? Kebetulan apa yang membuatnya
menyalakan TV pada saluran itu tadi? Ia berharap tak pernah menonton wawancara itu.
Terima kasih banyak, Barrie Travis, siapa pun kau.

Selama berhari-hari ia akan dihantui pikiran tentang David, Vanessa, dan anak yang meninggal di kamar tidur bayi Gedung Putih itu. Yang paling membuamya gusar adalah bahwa wawancara itu mungkin akan kembali menarik perhatian publik terhadap dirinya. Orang-orang akan mulai berpikir, menduga, menghubung-hubungkan. Lalu kekacauan
akan terulang kembali. 

**** 

David Merritt mondar-mandir di depan meja kerjanya di Ruang Oval. Lengan kemejanya digulung sampai siku kedua tangan terbenam dalam-dalam di saku. Di bawah rambutnya yang berantakan, alisnya berkerut. “Aku tidak pernah mendengarnya. Apa itu?”
“Namanya Munchausen Syndrome by Proxy, sesuai nama seorang bangsawan Jerman yang senang menyakiti diri sendiri.”
“Kukira itu masokisme,” celetuk Spencer Martin. Dr. George Allan mengangkat bahu dan menuang segelas scotch lagi untuk dirinya sendiri dari persediaan pribadi Presiden. “Itu sedikit di luar bidangku, dan aku belum menelitinya secara menyeluruh.”
“Barrie Travis sudah.” Merritt mengatakannya dengan nada seperti memarahi, dan dokter itu merasa seperti dimarahi.
Tampak malu, ia berkata, “‘By Proxy’ maksudnya rasa sakit itu ditimbulkan pada orang lain, biasanya anak-anak.”
“Apa hubungannya dengan SIDS?” tanya Merritt.
“Kenapa Barrie Travis menyelidikinya begitu dalam?”
Dr. Allan meneguk scotch-nya deagan cepat. “Karena orang-orang dewasa yang menderita sindrom itu, kadang-kadang berbuat ekstrem. Mereka melukai anak-anak mereka, terkadang malah membunuh mereka, dalam usaha untuk memperoleh perhatian dan simpati bagi diri mereka sendiri. Beberapa kematian misterius bayi yang tadinya dikatakan karena SIDS, sekarang diinvestigasi kembali sebagai kemungkinan pembunuhan.”
Sambil memaki pelan, Merritt duduk di balik meja kerja. “Kenapa si Travis brengsek itu tidak bisa tetap pada subjek itu saja tanpa menyeret segala kisah mengerikan itu? Tolong tuangkan aku minuman.”
Sang dokter mematuhinya.
“Terima kasih.” Merritt meneguk minumannya sambil merenung beberapa saat. Lalu ia memandang Spence. Ia tidak menyukai apa yang dilihatnya. Spence tengah berpikir, dan masalah yang dipikirkannya meresahkan.
“Mungkin mestinya aku tidak mendorong Vanessa melakukan wawancara itu,” ia berkata.
“Aku tidak setuju. Memangnya apa sih yang terjadi?” tanya Dr. Allan.
“Demi Tuhan, George, mestinya kau lebih tahu daripada orang lain,” tukas Merritt kesal. “Serial sialan ini membuatnya tidak keruan lagi.”
“Orang-orang menyadarinya,” komentar Spence tenang. Merritt memandangnya dengan tajam, menyuruhnya menyebutkan nama orang-orang itu. “Staf, Sir. Orang-orang menyadari gelombang emosi Ibu Negara, dan mereka merasa prihatin.”
Dengan suara bernada memarahi lagi, Merritt berpaling pada sang dokter.
“Aku tidak bisa mengontrol gelombang emosinya dengan obat kalau dia minum sebanyak itu,” ujar Dr. Allan.
Merritt menutup mata dengan tangan. “Clete merecoki aku soal masalah itu. Aku terus mengingatkannya bahwa Vanessa baru saja kehilangan anak, kenapa aku berharap
kita tidak pernah menyetujuinya? Aku punya frasat buruk. Aku merasa tidak tenang karena dialah yang menghubungi reporter itu duluan, bukan sebaliknya.”
“Aku juga merasa tidak tenang, mula-mula,” Merritt mengakui. “Namun ternyata semua beres. Itu merupakan kegiatan humas yang bagus baginya dan bagi kita. Seperti kata George, tidak terjadi apa-apa.” Ketika Spence tak berkomentar, Presiden menatapnya
tajam.
“Yah, kita lihat saja,” ujar Spence, nadanya tidak yakin.


**** 

“Baiklah, siapa dia?”
“Siapa?” Barrie bahkan tidak mendongak. Di pangkuannya ada setumpuk pesan telepon, kartu, dan surat dari para pemirsa, semua sehubungan dengan serial SIDS-nya. Dalam mimpinya yang paling optimis sekalipun, ia tak pernah mengira akan memperoleh
tanggapan begitu hebat.
“Kau curang, Barrie, menyembunyikan yang ini dari kami.”
Akhirnya ia mengangkat kepala “Oh, ya Tuhan!” Resepsionis ruang berita itu tersembunyi sama sekali di balik rangkaian bunga sangat besar yang dibawanya ke
bilik Barrie. “Kau mau ini ditaruh di mana?”
“Uh...” Seperti biasa permukaan mejanya berantakan.
“Lantai, kurasa.” Setelah meletakkan karangan bunga itu, si resepsionis berdiri. “Siapa pun dia, biarpun tampangnya seperti kodok, kalau rela menghamburkan uang untuk membeli
bunga seperti ini, menurutku dia harus dipertahankan. “ Barrie membuka kartu yang menyertai buket dan tersenyam. “Menurutku juga begitu, tapi dia sudah menikah.”
“Yang bagus-bagus memang begitu.”
Barrie menyodorkan kartu itu pada temannya yang matanya langsung membelalak waktu melihat tanda tangan familier di bawah pesan bertulisan tangan di kartu itu. Jeritannya membuat beberapa staf ruang berita menyerbu biliknya. Barrie mengambil kartu dan berkipas dengannya.
“Cuma tanda penghargaan kecil dari Presiden, mengagumi bakat dan wawasanku, memuji serialku, dan berterima kasih atas jasa patriotis yang kulakukan.”
“Satu kata lagi, maka aku bakal muntah,” Howie bergabung.
Barrie tertawa dan mengembalikan kartu itu ke dalam amplop. Kenang-kenangan untuk ditunjukkan pada cucunya nanti. “Kau cuma iri karena kau bukan teman
dekat keluarga Merritt.” Howie dan rekan-rekan kerjanya yang lain berbondong-bondong pergi, beberapa menggerutu tentang betapa beruntungnya sebagian orang.
Ketika sudah sendirian, Barrie menelepon. Dengan suara pelan ia bertanya, “Kau punya acara malam ini?”
“Kau serius?”
“Ada apa di kulkasmu?”
“Dua steak.”
“Aku akan bawa anggur.” Ia melirik buket itu “Dan bunga. Setengah jam lagi aku datang.”
“Oh. Benar juga.” la duduk di kursi santai yang usang, alat bantu pernapasannya tergeletak di samping kursi itu. Selang plastik mengalirkan oksigen dari tangki portabel langsung ke hidungnya. Di seberang ruangan, Barrie bersantai di sofa la duduk bersila dan memeluk bantal kursi. “Baru-baru ini aku mengobrol dengan seseorang yang kecanduan nikotin.
Seseorang yang takkan pemah bisa kautebak.”
“Siapa?”
“Rahasia.”
“Aku mau membocorkannya pada siapa sih? Yang datang kemari cuma kau.”
“Sebetulnya kau bisa minta teman-temanmu yang lain datang ke sini. Tapi kau tidak pernah mengundang mereka.”
“Aku tidak tahan mendengar belas kasihan mereka”
“Kalau begitu kau harus ikut kelompok sesama penderita emfisema.”
“Siapa yang mau berkumpul dengan sesama orang sakit yang kerjanya cuma menghirup angin!”
“Kita sudah pernah membahas masalah ini,” kata Barrie dengan suara berirama. “Jangan kita ulangi malam ini.”
“Aku setuju saja,” gerutu Daily . “Siapa perokok misterius itu?”
Barrie ragu-ragu. “Ibu negara kita.” Alis Daily terangkat karena merasa tertarik. “Yang benar? Gugup sebelum wawancara?”
“Bukan. Hari itu kami bertemu untuk minum kopi.”
“Karena sekarang kau telah mewawancarainya secara langsung, kau tetap menganggap dia tak punya otak?”
“Aku tidak pernah menganggapnya begitu.”
Daily memandangnya tajam. “Kau pernah berkali-kali mengatakan dia seperti itu, dan waktu itu kau duduk persis di tempatmu sekarang. Mississippi Belle. Itu kan julukanmu untuknya? Kau menggambarkan dia sebagai wanita yang tidak pernah punya pendapat sendiri, atau berpura-para begitu. Semua pendapatnya dibentuk oleh para pria, pria-pria yang dipujanya yaitu ayah dan suaminya. Kepalanya kosong melompong. Ada yang belum kukatakan?”
“Tidak, semuanya sudah.” Sambil menghela napas, Barrie mengusap tepi cangkir kopinya “Aku masih berpendapat begitu, tapi aku juga merasa kasihan padanya. Maksudku, kehilangan anak. Ya Tuhan.”
“Jadi?”
Barrie tidak sadar ia tenggelam dalam lamunan sampai pertanyaan Daily menyentaknya. “Jadi, apa?”
“Kau menggigit-gigit bibir, tanda ada yang mengganggu
pikiranmu. Sejak tadi aku menunggu kau bercerita apa
pun masalahnya.” Barrie bisa menyembunyikan perasaannya dari orang
lain, termasuk dirinya sendiri, tapi tidak pernah dari Daily. Kalau ia sedang bingung, atau risau, atau, stress, pria itu bisa mengetahuinya berkat radar batin yang membuatnya jadi wartawan jempolan.
“Aku tidak tahu apa,” Barrie berkata sejujurnya. Aku cuma merasa...”
“Tergelitik?”
“Begitulah.”
“Mungkin artinya kau mendapat sesuatu, tapi tidak tahu apa.”
Daily mencondongkan tubeh di kursi, matanya berkilat seperti mata anjing pemadam kebakaran ketika mendengar bel tanda bahaya berbunyi. Pipinya bersemu merah, membuatnya tampak lebih sehat dari pada
minggu-minggu terakhir ini, semangatnya bangkit kembali karena mencium petunjuk penting. Minatnya yang luar biasa membuat Barrie merasa bersalah karena telah memulai membicarakan masalah
ini. Ia akan membuat Daily sangat kecewa. Mungkin tidak ada berita dalam kasus ini. Di lain pihak, apa salahnya bercerita pada teman? Mungkin Daily bisa menjelaskannya. Atau sahabatnya itu bisa memberitahunya
bahwa ide-idenya tidak logis.
“Serial SIDS itu sangat menarik perhatian,” Barrie memulai. “Sudah kubilang aku mendapat jangkauan luas?” Serialnya dikirim ke satelit, membuatnya disiarkan secara nasional.
“Serial itu jelas membuat kariermu meroket,” kata Daily. “Dan memang itu yang kauinginkan, bukan? Jadi, apa masalahnya?”
Barrie menatap cangkirnya, lalu mengaduk kopi yang sekarang sudah terlalu dingin hingga tidak enak untuk diminum. 
“Ketika aku pertama kali bertemu dengannya, dia memiliki rasa bersalah yang bisa dipahami, jadi kuingatkan dia bahwa kematian bayinya bukan salah siapa-siapa—peristiwa itu terjadi begitu saja. Anehnya,
dia berkata, ‘Betul begitu?’ 
“Pertanyaan itu, dan caranya bertanyalah yang mendorongku melakukan riset mengenai SIDS. Kemudian aku menemukan kisah tentang wanita yang empat anaknya meninggal karena sindrom yang sama. Yang belakangan terbukti bukan itu penyebabnya.”
“Dia menderita sindrom... sindrom...”
“Munchausen Syndrome by Proxy,” Barrie membantu.
“Beberapa kasus SIDS sekarang dicurigai. Para ibu didakwa membunuh bayi mereka untuk menarik perhatian.
“Yah...” Barrie menarik napas dalam-dalam danmenahannya, mengangkat kepala, lalu memandang Daily.
Temannya menatapnya selama beberapa saat. Akhirnya ia berkata, “Mungkin aku harus menaikkan kadar oksigenku. Aku kekurangan, atau kebanyakan oksigen. Sesaat kukira kau tadi bermaksud mengatakan Ibu Negara Amerika Serikat membunuh anaknya sendiri.”
Barrie meletakkan cangkir di meja kopi dan berdiri.
“Aku tidak bilang begitu.”
“Kedengarannya begitu.”
“Bukan itu yang ingin kukatakan, Daily. Sumpah.”
“Kalau begitu, kenapa kau menggigit-gigit bibir?”
“Aku tidak tahu! Tapi ada yang tidak beres.” Barrie duduk kembali di pinggir sofa dan memegangi kepala.
“Dalam beberapa minggu terakhir ini aku dua kali bertemu Vanessa Merritt. Pada pertemuan pertama, dia sekacau pecandu narkotik pada hari kedua rehabilitasi —wanita yang emosinya nyaris ambruk. Pada pertemuan kedua, dia jadi orang yang sama sekali berbeda. Superior.
Tenang. Terkontrol. Tepat. Dan semanusiawi... semanusiawi meja kopi itu.”
“Wawancaranya bagus.”
“Wawancaranya tak berjiwa, Daily, dan kau tahu itu,” balas Barrie. Kernyitan di wajah Daily menunjukkan ia sependapat. “Wawancara dengan Mrs. Merritt itu mestinya jadi puncak serialku. Ternyata, malah sebaliknya, Dia seperli robot. Kalau dia seperti itu pada pertemuan pertama, aku mungkin takkan menyadarinya. Tapi perbedaan antara Vanessa Merritt pertarna dan kedua begitu mencolok.”
“Jadi dia minum beberapa Valium sebelum tampil di depan kamera,” kata Daily, mengangkat bahu.
“Mungkin. Aku yakin dia minum obat pada malam aku melihatnya di resepsi itu—atau mabuk. Seanggun biasanya, tapi goyah. Nyaris... entahlah... takut. Presiden menutupi..."
“Itu juga masalah,” Barrie berkata, memotong perkataannya sendiri dan bercerita panjang-lebar. “Dia
menyapaku seolah kami teman akrab. Tentu saja aku merasa tersanjung atas perhatiannya, tapi kupikir sikapnya itu aneh. Dia antusias soal serial itu, sebelum dan sesudah serial itu diproduksi. Maksudku, lihatlah bunga-bunga itu. Biayanya bisa membuat utang negara membengkak.”
“Dengan begitu teorimu jadi berantakan, bukan? Dia tidak mungkin merasa seperti itu terhadapmu dan
serialmu kalau serialmu itu menimbulkan citra buruk pada istrinya.”
“Aku cuma terkejut dengan sikap akrabnya. Sudah lama aku meliput kehidupan di Gedung Putih. Kenapa
tiba-tiba Presiden dan aku jadi akrab?”
“Barrie, kau wartawan. Dia pejabat yang menghadapi pemilu tahun depan. Dia harus bermanis-manis pada
semua wartawan. Merebut hati pers berarti merebut suara pemilih.”
la terpaksa mengakui kebenaran penjelasan Daily. David Merritt, sejak masa tugas pertamanya di Kongres,
memang tahu bagaimana caranya menghadapi media. Bulan madu mereka terus bertahan sampai masa kampanye kepresidenan selesai. Sekarang hubungan mereka mulai merenggang, namun pers masih mendukungnya. Tapi bukankah Barrie Travis cuma reporter kelas teri yang tak berpengaruh? Untuk apa Presiden bermanis-manis dengannya?
Pikirannya berpindah-pindah dari satu teka-teki ke teka-teki yang lain, yang sudah terjadi sejak pertemuan pertamanya dengan Vanessa Merritt. Ia tidak mau terlalu lama memikirkan salah satu teka-teki itu, karena takut semua itu cuma jebakan.
“Aku bisa saja melupakan ketidakcocokan itu dan tidur pulas, tapi ada satu ganjalan,” katanya pada Daily. “Dan menurutku inilah yang paling penting. Sesudah kami melakukan wawancara, Ibu Negara memelukku. Aku.”
Daily terus berperan sebagai lawannya “Itu untuk menimbulkan kesan baik.”
“Bukan, itu cuma alasan.”
“Untuk apa?”
“Untuk mendekatiku dan membisikkan sesuatu di telingaku supaya tidak didengar orang lain. Dia berkata, ‘Barrie, kumohon, tolong aku. Tidakkah kau tahu apa yang ingin kukatakan padamu?”’
“Sialan!”
“Aku juga merasa persis seperti itu, Daily. Itulah untuk pertama dan terakhir kali dia menunjukkan perasaannya yang sesungguhnya. Dia terdengar putus asa. Menurutmu, apa maksudnya?”
“Mana aku tahu? Bisa saja berarti, ‘Tolong aku membantu suamiku terpilih kembali.’ Atau, ‘Tolong aku membangkitkan kesadaran masyarakat tentang SIDS.’ Atau, ‘Tolong aku melupakan kesedihanku.’ Artinya bisa apa saja, atau tak ada sama sekali.”
“Kalau tidak ada, ya tidak ada,” kata Barrie. “Tapi kalau berarti sesuatu, implikasinya sangat luar biasa.”
Daily menggeleng. “Aku tetap tak sependapat. Kenapa dia membunuh bayi yang dengan susah payah didapatkannya?”
“Kukira kita sudah sepakat soal ito. Munchausen Syndrome.”
“Dia tidak sesuai dengan profill penyakit itu,” bantah Daily. 
“Wanita-wanita yang menderita kelainan itu biasanya mencari simpati dan perhatian. Vanessa Merritt
mendapat sorotan pers lebih luas daripada Putri Diana. Dia memperoleh perhatian lebih banyak daripada wanita mana pun di dunia ini.”
“Tapi apakah dia memperolehnya dari orang yang betul-betul penting?”
“Sang Presiden? Kaupikir dia istri yang tersia-sia, dan dia melakukan ini untuk menarik perhatian suaminya?”
“Mungkin saja.”
“Kemungkinan itu kecil.”
“Tapi mungkin,” Barrie berkeras. “Ingat saja simpati publik yang diterima Jackie Kennedy waktu Patrick kecil meninggal. Dia jadi pujaan.”
“Karena banyak alasan lain selain kehilangan anak.”
“Tapi tragedi itu ikut membuatnya menjadi legenda seperti sekarang. Mungkin Ibu Negara yang ini ingin menciptakan aura yang sama bagi dirinya.”
“Teori berikutnya,” kata Daily sambil mengibaskan
tangan.
”HIV. Bagaimana kalau salah seorang dari mereka mengidap virus itu? Hasil tes anak itu mungkin saja positif. Mrs. Merritt tak mau mengambil risiko bahwa dunia mengetahui soal riwayat seksualnya atau suaminya.”
“Kemungkinan yang sangat kecil juga,” tukas Daily.
“Kalau salah satu dari mereka mengidap HIV, pasti dari dulu sudah ketahuan. Misalnya, saat dia hamil. Presiden menjalani pemeriksaan fisik secara rutin. Rahasia seperti itu takkan bisa bertahan lama.”
“Kurasa kau benar.” Barrie merenungkannya lagi selama beberapa saat. ‘’Mungkin kita tidak melihat fakta yang sebetulnya ada di depan mata. Bagaimana kalau motifnya cuma untuk balas dendam? Aku punya kesan dia wanita yang terbiasa dituruti kemauannya, wanita yang tak bisa menerima penolakan.”
“Maksudmu?”
“Dia membunuh putra mereka untuk menghukum Presiden karena berselingkuh.”
“Digosipkan berselingkuh.”
“Ayolah, Daily,” erang Barrie. “Semua orang tahu dia penakluk wanita. Dia cuma belum tertangkap basah di tempat tidur bersama wanita telanjang saja.”
“Sampai dia tertangkap basah, dan ada kru 60 Minutes yang meliputnya, dan Mike Wallace merekam pengakuannya dengan video, perselingkuhannya tetap cuma gosip.”
“Mrs. Merritt pasti tahu.”
“Tentu saja dia tahu. Tapi dia akan tersenyum dan berpura-pura tidak tahu, persis seperti yang dilakukan istri para pejabat negara selama ini.”
“Aku tetap berpendapat motivasi wanita-marah itu sangat kuat.” Daily menarik-narik bibir bawahnya sambil berpikir.
“Barrie, kisah ini membuatmu diperhatikan banyak orang. Perhatian yang positif kali ini.”
“Pengalaman burukku tak ada hubungannya dengan masalah ini.”
“Kau yakin? Serial ini begitu bagus hingga sesaat menutupi kejadian buruk Hakim Agung Green dan membuktikan kritik-kritik untukmu itu keliru. Kau pantas menerima pujian-pujian ini, tapi jangan sampai rakus. Kau yakin tidak mengeksploitasi perhatian yang mendadak kauperoleh dengan menciptakan kisah lain? Mungkinkah kau memanfaatkan segala penghargaan ini untuk menyucikan diri secara profesional?” Barrie ingin membantah dengan tegas dan tanpa keraguan, tapi ia diam sebentar untuk merenungkan kembali motivasinya. Benarkah ia membentuk fakta-fakta supaya sesuai dengan tujuannya sendiri? Benarkah ia membiarkan ambisinya mempengaruhi objektivitasnya? Lebih buruk lagi, apakah ia kembali ke kebiasaannya yang suka cepat-cepat menarik kesimpulan yang salah untuk menciptakan kisah yang jauh lebih dramatis?

“Sejujurnya, tidak. Aku memandang masalah ini dengan objektif dan dari setiap sudut yang ada. Wanita itu kehilangan anaknya. Untuk itu dia memperoleh simpatiku yang paling dalam. Tapi apakah tidak mungkin, bahwa bukannya menjadi korban nasib buruk, dia malah merupakan korban kebencian yang tidak dapat diduga kemunculannya, yang membuatnya melakukan kejahatan paling buruk yang bisa dibayangkan? Itulah pertanyaan
yang terus mengganggu pikiranku.
“Sejak awal, urusan ini mencurigakan. Kenapa dia menelepon dan mengajakku bertemu? Dia tidak pernah berbuat begitu sebelumnya. Tidak dengan semua reporter yang kukenal Dan waktu kami bercakap-cakap, dia seolah berusaha menyampaikan sesuatu tanpa jelas-jelas mengatakannya. Bagaimana kalau sesuatu itu pengakuan?
“Kalau dia bukan Ibu Negara, aku takkan menunggu selama ini untuk menyelidiki kisahnya. Kurasa demi diriku sendiri aku harus menggali lebih dalam. Dan biarpun aku tahu akan terdengar norak sekali, kurasa aku harus melakukannya demi negaraku.”
“Oke,” kata Daily. “Aku ingin menanyakan satu hal
lagi padamu.”
“Silakan.”
“Kenapa kau buang-buang waktu di sini?”




Bab Enam

SETELAH selama seminggu dengan penuh semangat mengikuti petunjuk yang tidak menghasilkan apa-apa, semangat menggebu-gebu Barrie mulai redup. Yang diperolehnya setelah menghabiskan waktu untuk memburu kisah tentang kematian Robert Rushton Merritt cuma rasa frustrasi.
Ia mengeksplorasi setiap sudut yang didoskusikannya dengan Daily, namun tak ada yang berhasil. Ia terperangkap dalam Catch-22: Kisahnya harus diselidiki secara menyeluruh, yang tidak bisa dilakukan tanpa mengungkapkan kisah itu sendiri. Untuk membuat urusan bertambah runyam, prostat
Howie kumat lagi—tentu saja, ia menganugerahi Barrie dengan semua detailnya yang menjijikkan— jadi pria itu lebih menyebalkan daripada biasanya. Iri dengan kesuksesan serial Barrie, ia memberinya tugas-tugas yang tidak mau dikerjakan reporter lain, kisah-kisah yang
berada di urutan terakhir. Barrie menggarapnya tanpa mengeluh, dan secepat mungkin, supaya ia bisa menghabiskan lebih banyak waktu untuk kisah yang menarik perhatiannya. Hanya berpikir bahwa Ibu Negara mungkin telah membunuh anaknya sendiri sudah terasa seperti mengkhianati
negara. Apa hukuman ontuk pengkhianat pada zaman sekarang? Hukuman gantung di depan umum?
Ditembak mati? Barrie takut dirinyalah, bukan Vanessa Merritt, yang
mengalami gangguan mental. 

Ia mendengar suara-suara yang sebetulnya tidak ada, merasa ada makna tersembuny dalam pernyataan-pernyataan yang sebetulnya lugas. Ia seharusnya mengabaikan pikiran konyol ini dan memusatkan energi pada berita-berita yang diberikan Howie padanya, bukan malah memasrahkan masa depannya pada bintang yang mungkin akan meledak dan membentak lubang hitam di sekeliling dirinya dan kariernya. Tapi ia tak bisa mengabaikannya. Bagaimana jika, setelah beberapa kejadian mengecewakan, Bernstein dan Woodward mengabaikan kisah Watergate?

Ia berada di biliknya, mempelajari catatan-catatannya untuk mencari ketidakcocokan lain, waktu sutradara warta berita malam membuyarkan konsentrasinya. “Ya, Barrie. Intro kisah yang kaugarap untuk malam ini?”
“Memangnya kenapa?”
“Mike-nya rusak. Kata Howie, kau harus mengucapkan intro langsung dari studio.”
la melirik jam di meja. Tinggal delapan menit dari waktu siaran. “Kalau kau belum melihat, tadi siang aku basah kuyup kehajanan, persis setelah kami menyelesaikan syuting kisah itu. Rambutku masih basah.”
“Dan riasan matamu...” Gerakan tangan pria itu tidak menggembirakan. “Tapi kalau kau tidak mau, kisah itu tidak akan disiarkan. Howie bilang ini peluang emasmu menuju ketenaran.”

“Aku tak mau berharap,” Barrie menghela napas, “tapi demi perdamaian, aku akan melakukannya.” la menyambar tasnya. “Kalau ada yang mencariku, bilang aku di karnar
mandi.”
“Aku akan berdoa semoga tejadi mukjizat,” seru si sutradara. 

Setelah siaran berita itu, Barrie kembali ke meja kejanya dan mengecek pesan-pesan. Ada pesan dari seorang maniak yang sudah bertahun-tahon meneleponnya, menyatakan bahwa para pembuat sebuah merek obat pencahar yang terkenal telah menggunagunanya sehingga ia menderita sakit perut kronis. Ada juga pesan dari seorang maniak baru, yang memperkenalkan diri sebagai Charlene dan mencaci maki Barrie karena berotak udang
dan tolol. Dan pesan dari Anna Chen, narasumbenya di General Hospital.
“Anna?”
“Hai.”
Suara Anna Chen terdengar tertahan dan berhati-hati,dan Barrie sadar wanita itu tidak menyebotkan namanya, meskipun jelas ia mengenali suaranya Barrie otomatis meraih notes dan pensil.
“Masalah yang kita bicarakan beberapa hari yang
lalu?” pegawai rumah sakit itu mulai.
“Ya.”
‘-Tidak ada copy-nya.”
“Begitu.” Barrie menunggu, merasa masih ada yang ingin disampaikan wanita itu.
“Prosedurnya tak pernah dilakukan.” Barrie menelan ludah. “Tidak pernah dilakokan? Apakah itu... prosedur tidak wajib? Dalam, uh, keadaan tidak biasa bukankah itu wajib dilakukan?”
“Biasanya ya. Tapi-dalam kasus ini, dokter yang bertugas memutuskan itu tidak perlu. Dia rnemerintahkan agar prosedur itu diabaikan, dan itulah yang terjadi.”Dr. George Allan, dokter pribadi Presiden, telah memerintahkan pemeriksa mayat supaya tidak melakukan
autopsi. Barrie begitu ketat menekan pensilnya hongga
ujungnya patah. “Kau yakin?”
“Aku harus pergi.”
Beberapa pertanyaan lagi?”
“Maaf.”
Anna Chen menutup telepon. Barrie menjejalkan notesnya ke dalam tas, menyambar jas hujan dan payung,lalu bergegas meninggalkan ruang berita. la memang tak berharap Anna Chen menunggunya di kantornya di rumah sakit. Meskipun begitu, ia kecewa juga ketika mendapati kantor itu terkunci dan gelap.Sekembalinya di, ia menggunakan ponselnya.
“Kau punya buku telepon?” ia bertanya pada Dailybegitu laki-laki itu mengangkat telepon.
“Selamat malam juga”
“Tak ada waktu untuk basa-basi.”
Menanggapi suaranya yang mendesak, Daily bertanya,
“Metro D.C.?”
“Mulai dari sana Cari nama Anna Chen. C-h-e-n.”
“Siapa dia?”
“Aku tak boleh bilang.”
“Oh. Narasumber. Ada apa?”
“Terlalu panjang untuk diceritakan di telepon.”
“Aku melihatmu di warta berita malam ini,” kata  Daily. Barrie mendengar suara halaman-halaman buku dibuka.
“Bagaimana penampilanku?”
“Aku pernah lihat yang lebih jelek.”
“Separah itu? Bagaimana soal Chen-nya?”
“Tidak ada Anna, tapi A. Chen ada.”
“Beritahu aku yang itu. Nomor telepon dan alamatnya.” Pegawai rumah sakit itu tinggal di bangunan yang belum lama direnovasi di Adams Morgan, lingkungan yang funky dan kaya secara etnis. Restorasi bangunan itu tidak termasuk lift, jadi Barrie agak kehabisan napas ketika sampai di apartemen di lantai tiga itu. Ia tak ingin memberi Anna Chen kesempatan untuk menghindarinya, jadi ia tidak menelepon lebih dulu. Ia lega mendengar suara TV di balik pintu. Ia menekan bel. Suara TV langsung lenyap. Ia merasa dirinya tengah diamati dari lubang kecil di pintu.
“Kumohon, Anna, aku harus bicara denganmu.”
Setelah jeda yang terasa lama sekali, selot-selot dibuka, lalu rantai terentang ketika pintu terbuka beberapa inci. Dari celah itu, Barrie cuma bisa melihat setengah wajah Anna Chen yang cantik.
“Apa yang kaulakukan di sini? Mestinya kau tidak kemari.”
“Selagi di sini, boleh aku masuk?”
“Apa yang kauinginkan?”
“Apa yang aku inginkan? Bukankah sudah jelas?
Aku ingin bertanya kenapa tidak dilakukan autopsi
pada...”
“Aku akan menutup pintu sekarang. Tolong jangan ganggu aku lagi.”
“Anna!” Barrie menyelipkan kakinya, di pintu. “Aku tidak mengerti. Kau tidak bisa begitu saja meneleponku, memberitahuku berita itu, lalu tidak...”
“Aku tidak tahu kau bicara apa.”
Barrie terpana “Anna ada apa? Aku tidak mengerti.”
Sedetik kemudian ia mengerti. Mata berbentuk almond dan indah milik Anna Chen tampak ngeri. Sambil memelankan suaranya hingga jadi bisikan,
Barrie bertanya, “Apakah kau dilarang bicara denganku?”
“Kumohon, pergilah.”
“Ada yang mengingatkanmu supaya tidak bicara denganku? Apakah kau diancam? Oleh siapa, Anna? Para atasanmu di rumah sakit? Orang di kantor pemeriksa kesehatan? Dr . Allan?” Tetap memelankan suara, ia berkata dengan nada mendesak, “Namamu takkan disebut sebagai narasumberku. Aku bersumpah. Mengangguk saja kalau aku benar. D George Allan memerintah bagian pemeriksaan mayat supaya tidak melakukan autopsi. Apakah mandat itu datang langsung dari Presiden?”
Sekali lagi wanita muda yang ketakutan itu mencoba menutup pintu, yang sekarang terasa seperti catuk di kaki Barrie. 
“Anna, tolong beritahu aku apa yang kauketahui.”
“Aku tidak tahu apa-apa. Pergi. Jangan ganggu aku.”
Wanita Asia itu dengan sekuat tenaga mengempaskan tubuhnya yang berbobot empat pulah kilogram lebih ke pintu. Barrie cepat-cepat menarik kakinya la berdiri terpana di koridor, menatap angka-angka kuningan di pintu yang mengatakan apartermen nomor 3C, dan bertanya-tanya siapa yang telah membungkam Anna Chen. Dan mengapa.

Vanessa Merritt mematikan TV di ruang pribadinya. la tadi tengah berpindah-pindah saluran ketiga kebetulan melihat Barrie Travis di warta berita WVUE. Kenapa gadis itu bisa begitu tolol? Kenapa ia belum juga mengikuti petunjuknya? Tapi kalau dipikir-pikir, Vanessa merasa lega juga reporter itu telah bersikap seperti itu. la sebetulnya tak ingin rahasianya terungkap, namun ia tidak tahu berapa lama lagi ia dapat menahan diri untuk
menyimpannya. Bagaimanapun, ia takut ranasianya bisa membunuhnya.
la menuang segelas anggur terlarang lagi untuk dirinya sendiri. Masa bodoh kalau dokternya ayahnya, dan suaminya marah. Bagaimana mereka tahu apa yang dibutuhkan atau tidak dibutuhkannya? Mereka tidak mungkin memahami penderitaannya. Mereka berkomplot melawannya. Mereka...

Pikiran itu lenyap sebelum selesai. Hal seperti ini sering terjadi. Rasanya ia tidak bisa memikirkan hal yang sama selama beberapa detik, pikirannya selalu buyar.
Apa yang dipikirkannya tadi?
Bayinya, ya. Selalu. Tapi ada masalan lain...
Ketika matanya kembali ke TV, ia ingat. Barrie Travis.

Wanita tolol itu. Apakah ia perlu ditabrak truk dulu baru bisa mengerti? Kenapa ia belum mengerti juga? Atau mungkinkah ia sudah mengerti, namun terlalu takut
untuk menindaklanjutinya? Apakah ia bodoh, atau pengecut? Apa pun, hasilnya sama saja. Ia tidak bisa mengharapkan bantuan dari pihak itu.Vanessa tadinya menganggap dirinya pintar karena memanfaatkan reporter itu sebagai kuda tunggangan. Ide
itu muncul ketika ia melihat Barrie di konferensi pers di halaman timur belum lama ini. Bukankah ia yang menyiarkan berita soal “kematian” Hakim Agung Green? Bukankah ia yang mengajukan pertanyaan sangat bodoh di suatu konferensi pers hingga membuat orang tertawa terbabak-bahak?
Kredibilitas Barrie Travis yang rendah membuatnya jadi pilihan yang tepat untuk tujuan Vanessa, yaitu memberikan beberapa petunjuk pada seorang reporter tak bertanggung jawab, orang yang bakal menggelindingkan
bola. Reporter itu akan mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mula-mula terasa ganjil, namun belakangan jawaban-jawabannya akan diburu para pemain penting. Kalau Vanessa menanam bibit kisahnya pada salah satu reporter kelas kakap jaringan berita, hasil yang akan dituainya bisa membahayakan dirinya. Dengan cara begini, rahasianya akan diketahui orang, tapi tidak langsung dari dirinya. Atau begitulah yang diharapkannya. Jelas ia telah salah memilih Barrie Travis. Reporter itu bukan cuma ceroboh, tapi juga tak berotak.
Jadi, pada siapa ia selanjutnya mesti berpaling? Karena kebiasaan, Vanessa meraih telepon.
“Hai, Daddy.”
“Halo!” kata Senator. “Aku memang sudah berniat meneleponmu. Bagaimana kabarmu?”
“Baik.”
“Rumah sedang sepi?”
“David tengah berpidato di suatu pertemuan serikat
buruh. Aku lupa di mana" 
“Mau aku datang dan menemanimu?”
“Tidak, tapi terima kasih.” la tidak bisa minum
banyak-banyak kalau ayahnya ada.
“Kau tidak boleh sendirian, Sayang.”
“David pulang malam ini. Memang setelah larut malam, tapi dia sudah berjanji akan membangunkan aku.” Setelah hening sejenak, Vanessa bisa membayangkan ayahnya pasti sedang mengerutkan kening. Pria itu kemudian berkata, 
“Mungkin sebaiknya kau menemui kembali ginekologmu. Siapa tahu dia bisa memberimu suntikan hormon atau apa.” Ia menganggap semua penyakit ringan wanita disebabkan oleh ketidakseimbangan hormon.
“George bakal tersinggung.”
“Persetan dengan George dan perasaannya,” kata Senator menggelegar . “Yang penting kesehatanmu.
George orang yang baik, dan kurasa dia dokter yang kompeten untuk masalah-masalah rutin seperti sakit perut dan flu. Tapi kau membutuhkan dokter spesialis. Kau
membutuhkan psikiater.”
“Tidak, Daddy. Aku tidak membutuhkannya. Semuanya bisa kuatasi.”
“Kehilangan Robert kecil membuat dirimu kacau.”
Vanessa menenggak anggurnya untuk menghilangkan tusukan rasa sesal yang ditimbulkan kata-kata ayahnya tadi. “David takkan setuju. Ibu Negara tidak boleh berobat ke psikiater.”
“Urusannya bisa dilakukan secara diam-diam. Lagi pula, siapa yang akan memandang rendah dirimu karena mencari bantuan ketika kau sangat membutuhkannya? Aku akan membicarakannya dengan David.”
“Tidak!”
“Sayang...”
“Kumohon, Daddy, jangan membuat dia khawatir. Aku akan mengatasinya. Aku cuma butuh waktu lebih banyak daripada yang kita kira.” Vanessa telah belajar dari ahlinya, Senator Cletus Armbruster, bagaimana cara mempraktekkan politik. Ketika mereka mengucapkan salam perpisahan, ia berhasil membuat ayahnya berjanji tidak akan membicarakan masalah kesehatannya dengan David. Untuk menenangkan diri, ia minum sebutir Valium lagi dengan anggur, lalu pergi ke kamar mandi dengan pikiran melayang-layang dan mengganti pakaiannya dengan gaun tidur dan mantel. Sambil duduk bersandar di tempat tidur, ia mencoba menulis surat, tapi tak bisa mengontrol penanya. Ia berusaha membaca buku laris baru yang dibicarakan banyak orang, namun matanya
sulit difokuskan dan kata-kata di buku itu sulit dipahaminya. Ia baru saja akan menyerah dan mematikan lampu ketika terdengar pintunya diketuk. Ia bangkit dari ranjang dan melintasi ruangan.
“Vanessa!”
Ia membuka pintu. “Halo, Spence.”
“Anda tadi sudah tidur?”
“Aku sedang membaca.” Spence selalu membuatnya
gelisah. Ia menyisir rambutnya dengan jari. “Mau apa
kau?”
“Presiden minta aku mengecek Anda.”
“Oya?” kata Vanessa sinis.
“Dia merasa tidak enak karena harus meninggalkan
Anda malam ini.”
71
“Kenapa malam ini harus berbeda?” Ekspresi mata pria itu sama sekali tak berubah. Sekadar sikap kurang ajar takkan bisa membuatnya marah. Kalaupun marah, ia takkan menampakkannya Itu sudah bagian dari pendidikannya.
Pemerintahan Nixon memiliki Gordon Liddy, yang rela telapak tangannya terluka karena menutupi api skandal atasannya sampai dirinya sendiri hangus terbakar.
Liddy tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Spencer Martin. Pria itu sendiri menakutkan. Dan tak terkira nilainya bagi Presiden.
“Ada yang bisa kuambilkan?” ia bertanya dengan sikap
sopan namun dingin.
“Misalnya?”
“Apa saja.”
“Tidak usah repot-repot.”
“Tidak akan merepotkan, kujamin. Bagaimana kondisi
Anda?”
“Bagus sekali, bangsat. Bagaimana kondisimu?”
“Anda kacau. Biar kupanggilkan Dr. Allan.”
“Aku tidak butuh dia.” bentak Vanessa. “Yang kubutuhkan...” la berhenti sejenak untuk menghimpun tenaga. “Yang kubutuhkan adalah orang-orang di sini mengakui bahwa aku pernah punya anak, dan anak itu sekarang sudah meninggal.”
“Itu sudah diakui, Vanessa. Kenapa berlarut-larut memikirkannya? Apa gunanya mengunyah-ngunyah fakta bahwa anak Anda...”
“Sebut namanya, bajingan!” Diterjangnya pria itu dan
dicengkeramnya kerah jasnya yang dijahit sempurna
“Kau dan David sulit sekali menyebutkan namanya bukan? Hati nuranimu tidak sanggup. Katakan!” hardiknya
“Katakan sekarang juga!”
Seorang agen Dinas Rahasia menyerbu masuk. “Mr. Martin, ada yang tidak beres?”
“Ibu Negara sedang tidak sehat,” kata Spence.
“Telepon Dr. Allan dan suruh segera datang.” Spence membuatnya mundur ke kamar dan menutup pintunya. “Mau mengurungku di kamar, Spence?”
“Sama sekali tidak. Kalau Anda ingin mempermalukan
diri sendiri di depan staf, silakan,” kata Spence tenang,
sambil menunjuk ke pintu.
Vanessa tenggelam dalam kebisuan, namun dengan
gaya membangkang menuang segelas anggur lagi untuk
dirinya sendiri. Ketika dokter datang, ia sudah menghabiskannya
dan sedang minum segelas lagi.
“Dia mabuk, George,” Spence memberitahu. Ia memberontak ketika Dr. Allan berusaha memeriksanya.
“Vanessa pengobatan Anda tidak memperbolehkan Anda minum sebanyak ini.”
Spence lantas memerintahkannya memberi Vanessa obat untuk membungkam mulutnya “Aku tidak bisa. Aku harus menaikkan dosisnya supaya efektif.”
“Aku tak peduli kau harus berbuat apa” kata pria berhati batu itu.
Vanessa menyodorkan lengannya. “Beri aku obat
sialan itu! Satu-satunya kesempatanku merasa damai
cuma kalau aku tidur. Dan, seperti kata Spence, aku tidak
mengantuk, aku mabuk.”
Ketika obat mengaliri pembuluh darahnya David
memasuki kamar. Ia jelas tampak marah sekali karena
keributan yang ditimbulkan Vanessa waktu ia pergi.
Sayang sekali, Mr. President, pikir Vanessa, meskipun ia sekarang terlalu rileks untuk mengucapkannya. Ia bersama Spence dan Dr. Allan melakukan pembicaraan
yang tegang dan berbisik-bisik di kaki tempat tidur. Sebagai penutup, Vanessa mendengar Spence berkata, “Kita tidak bisa membiarkan ini lebih lama lagi. Apa, tepatnya, maksud ucapannya itu? Vanessa tadi berharap bisa tidur, tapi sekarang ia berjuang supaya tetap
terjaga.Ia pulas ketika mereka menjemputnya tepat sebelum fajar.